Sejarah Ushul Fiqh
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Ushul Fiqh
Ushul Fiqh tumbuh bersama-sama dengan Fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukan lebih dahulu daripada Ushul Fiqh. Karena dengan tumbuhnya Fiqh, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Dan metode itu tidak lain adalah Ushul Fiqh. Karena secara metodologis, fiqh tidak akan terwujud tanpa ada metode istinbat, dan metode istinbat itulah sebagai inti dari Ushul Fiqh.
Zaman Rasulullah ilmu ini sudah digunakan oleh beliau sendiri sebagai Syari’, yang tentunya bersumber dari wahyu Allah Swt. Setelah beliau wafat, para sahabat yang dikenal sebagai pakar (fuqaha) seperti Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab tidak mungkin menetapkan hukum tanpa adanya dasar dan batasan. Mereka mengikuti langsung praktik-praktik tasyri’ (pembentukan hukum) dari Rasulullah Saw sehingga mere generasi k tahu betul bagamana cara memahami ayat dan dapat menangkap tujuan pembentukan hukumnya. Di samping itu, mereka adalah generasi yang masih bersih dan kuat kemampuan bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran.
Seperti fatwa yang dikeluarkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa ‘iddahnya
perempuan yang ditinggal mati oleh suami, sementara ia sedang hamil, adalah
sampai melahirkan, berdasarkan firman Allah:
واولات
الاحمال اجلهنّ ان يضعن حملهنّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At-Thalaq: 4).
Dia memberikan fatwa demikian karena menurut asumsinya bahwa surat at-Thalaq turun setelah surat al-Baqarah. Cara ini mengisyaratkan bahwa kaidah ushul fiqh yang menyatakan ayat yang turun kemudian menasakh (menghapus) ayat yang turun lebih dahulu.
Pada masa tabi’in, penggalian hukum syara’ semakin meluas, lantaran banyak permasalahan yang terjadi pada saat itu, dan banyak para ulama tabi’in yang memberikan fatwa, dengan dasar-dasar yang mereka pegang adalah al-Quran, Hadits dan fatwa sahabat. Bila tidak terdapat keterangan dari nash, maka sebagian mereka ada yang menempuh penetapan hukum dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan ada pula yang menempuh jalan qiyas.
Banyak para tabi’in yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berfatwa dan berijtihad, antara lain Sa’id ibn al-Musayab (15 H – 94 H) di Madinah, dan ‘Alqamah ibn Qays (w. 62 H) serta Ibrahim al-Nakha’i (w. 96 H) di Irak. Dalam berfatwa mereka merujuk kepada al-Quran, Sunnah, fatwa sahabat, ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah.
Setelah periode tabi’in, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode penetapan hukum syara’ bertambah banyak corak dan ragamnya. Dengan semakin banyaknya metode penetapan hukum, maka semakin banyak pula kaidah-kaidah istimbath dan petunjuk-petunjuknya, sebagaimana dapat kita lihat dengan jelas dari ucapan para imam mujtahid.
Seperti Imam Abu Hanifah yang membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadits dan fatwa-fatwa sahabat yang disepakati. Sedang fatwa-fatwa yang masih diperselisihkan, dia bebas untuk memilih salah satunya, dan tidak keluar (menyimpang) dari fatwa-fatwa tersebut. Dia sama sekali tidak mau mengambil pendapat para tabi’in, karena mereka sederajat dengan dirinya. Dalam berijtihad, dia menyamakan antara qiyas dengan istihsan.
Imam Maliki mempunyai metode ijtihad yang jelas dengan berlandaskan
pada amal (tradisi) penduduk Madinah. Hal itu dijelaskan di dalam
kitab-kitabnya, risalah-risalahnya, syarat periwayatan hadits serta kritiknya
terhadap hadits seperti yang dilakukan oleh Imam Shaifafi al-Mahir. Begitu juga
penolakannya terhadap sebagian atsar yang dinisbahkan kepada Rasulullah
lantaran bertentangan dengan nash al-Quran atau ketetapan yang telah masyhur
dalam kaidah agama, seperti penolakannya terhadap hadits yang berbunyi:
اذا ولغ
الكلب فى اناء احدكم غسله سبعا
“Apabila anjing menjilat pada suatu bejana, maka
basuhlah (sucikanlah) tujuh kali.”
Begitu
juga penolakannya terhadap hadits tentang khiyar majlis
dan hadits tentang pemberian shadaqah dari orang yang wafat.
Imam Syafi’i telah memperoleh peninggalan hukum-hukum fiqh yang
diwariskan oleh sahabat, tabi’in dan para imam yang telah mendahuluinya. Juga
rekaman hasil diskusi antara aliran fiqh yang bermacam-macam, sehingga beliau
memperoleh gambaran yang kongkrit antara fiqh ahli Madinah dan fiqh ahli Iraq.
Dengan modal tersebut, dia mampu menyusun kaedah-kaedah yang disebut ushul
fiqh.
Setelah
madzhab-madzhab fiqh menjadi baku, kajian para fuqaha terhadap ushul fiqh
terbagi menjadi dua aliran yaitu:
1.
Aliran
Teoritis, dari permasalahan yang terdapat dalam berbagai madzhab. Aliran
teoritis ini hanya menetapkan kaidah-kaidah tanpa bertujuan untuk menguatkan
atau membatalkan praktek-praktek berbagai madzhab.
2.
Aliran
Praktis, yang bertujuan untuk memberikan legitimasi terhadap hasil-hasil
ijtihad dalam masalah-masalah furu’.
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H – 204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan Ushul Fiqh. Perkembangan pesat ilmu-ilmu keislaman dimulai dari masa Harun al-Rasyid (145 H – 193 H), khalifah kelima Dinasti Abbasiyah yang memerintah selama 23 tahun (170 H – 193 H) dan dilanjutkan pada masa putranya bernama al-M’mun (170 H – 218 H) khalifah ketujuh yang memerintah selama 20 tahun (198 H – 218H). Pada masa ini ditandai oleh didirikannya “Baitul Hikmah”, yaitu sebuah perpustakaan terbesar di masanya, kota Baghdad menjadi menara ilmu yang didatangi dari berbagai penjuru wilayah Islam.
Dalam suasana pesatnya ilmu, ushul fiqh muncul menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Bahkan terdapat dua aliran dalam penulisan ushul fiqh, yaitu aliran jumhur (mayoritas) dan aliran Hanafiyah. Aliran jumhur karena merupakan aliran yang dianut oleh mayoritas kalangan Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah. Contoh kitab ushul fiqh menurut aliran jumhur antara lain : (1) al-Risalah, disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafii (150 H – 204 H). Buku ini merupakan buku pertama ushul fiqh. (2) al-Burhan fi Ushul Fiqh, disusun oleh Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdillah al-Juwaini yang bergelar al-Haramain (419 H – 478 H). Sedangkan aliran Hanafiyah seperti (1) Taqwim al-Adillah, karya Imam Abu Zaid al-Dabbusi (w.432 H), ahli ushul fiqh dari kalangan Hanafiyah. (2) Manar al-Anwar oleh Abu al-Barakat Abdullah Ibn Ahmad Ibnu Muhammad al-Nasafi (w. 710 H).
0 Response to "Sejarah Ushul Fiqh"
Post a Comment