TAKHRIJ HADIS TEORI DAN PRAKTIS

Takhrij
Takhrij Hadis
Untuk mengetahui otentik atau tidaknya sumber Hadis kita harus mengetahui dua unsur yang sangat penting yaitu sanad[1]dan matan[2]. Kedua unsur tersebut mempunyai hubungan fungsional yang dapat menentukan eksistensi dan kualitas suatu Hadis. Sehingga sangat wajar manakala para muhadditsin sangat besar perhatiannya untuk melakukan penelitian, penilaian dan penelusuran Hadis dengan tujuan untuk mengetahui kualitas Hadis yang terdapat dalam rangkaian sanad dan matan yang diteliti, sehingga Hadis tersebut dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya.

A.    Sejarah Singkat Pentadwinan Hadis Nabi

Aktivitas pentadwinan Hadis oleh ulama mutaqaddimin secara resmi dan intensif berlangsung selama abad kedua dan ketiga Hijriah, yaitu aktivitas sampai terkumpulnya Hadis dalam diwan-diwan Hadis. Masa-masa tersebut adalah masa-masa pembukuan, penyaringan, pemilahan, dan pelengkapan Hadis.

Masa sesudahnya adalah masa penyempurnaan, yaitu pada masa mutaakhirin yang berlangsung sejak abad IV sampai 656 H yang dikenal sebagai masa pembersihan, penyusunan, penambahan, dan pengumpulan. Setelah tahun 656 H dan seterusnya adalah masa pensyarahan, pengumpulan, pentakhrijan dan pembahasan.

Proses riwayah dan pentadwinan yang ditekuni oleh para Muhadditsin sampai abad kelima Hijriyah, terdiri dari kitab Musnad dan kitab Mushannaf. Kitab Musnad adalah kitab yang disusun dengan sistem tasnid, yakni susunannya berdasarkan rawi shahabat, ditadwin sejak akhir abad pertama, selama abad kedua, abad ketiga, dan selanjutnya, antara lain: Al-Musnad karya Abu Hanifah (150 H), Al-Musnad karya al-Syafi’i (204 H), Al-Musnad karya Abu Daud al-Thayalisi (201 H), Al-Musnad karya Ahmad ibn Hambal (241 H), Al-Musnad karya Zaid ibn Ali, Al-Musnad karya Abdullah ibn Musa, Al-Musnad karya Musaddad ibn Musarhad, Al-Musnad karya Asad ibn Musa al-Amawi, Al-Musnad karya Nu’aim ibn Hammad al-Khuza’i, Al-Musnad karya Ishaq ibn Rahawaih, Al-Musnad karya Abu Ya’la al-Maushûliu, Al-Musnad karya al-Humaidi, Al-Musnad karya Ali al-Madani, Al-Musnad karya Abid ibn Humaid, Al-Musnad karya al-Bazzar, Al-Musnad karya al-Marwazi, Al-Musnad karya Abu Bakar ibn Abi Syaibah (234 H), Al-Musnad karya al-Baghawi (214 H), Al-Musnad karya al-Masarkhasi (298 H), Al-Musnad karya Baqi ibn Makhlad (196 H), Al-Musnad karya Sa’id ibn Manshur (227 H), Al-Musnad karya al-Razi, Al-Musnad karya al-Khuwarijmi.

 Kitab Mushannaf adalah kitab Hadis yang disusun dengan sistem tashnif, yakni susunannya berdasarkan urutan (maudhu’i) bab-bab tertentu, ditadwin mulai awal abad kedua Hijriah dan selanjutnya dengan nama Al-Muatha’, Al-Jami’, Al-Sunan, Al-Muatha’, dan Al-Mustadrak.

Kitab  Al-Muatha susunan: Malik (179 H), Al-Madani (185 H), al-Marwazi (292 H), dan kitab Mushannaf Al-Jami’ seperti: Al-Auza’i (157 H), Syu’bah (160 H), Hammad (167 H), Al-Laits (175 H), Sufyan (196 H), Abd al-Razaq (211 H), Ibnu Abi Syaibah (235 H), Baqi’ (276H), Abu Nu’aim (430 H).

Kitab Sunan disusun pada abad ketiga, empat dan lima Hijriah yakni: Al-Sunan karya Abu Daud (275 H), Al-Sunan karya al-Tirmidzi (278 H), Al-Sunan karya al-Nasa’i (303 H), Al-Sunan karya Ibn Majah (273 H), Al-Sunan karya al-Darimi (255 H), Al-Sunan karya al-Dailami (505 H), Al-Sunan karya al-Dâruqathni (358 H), Al-Sunan karya al-Kubra karya al-Baihaqi (458 H).

Kitab Mushannaf Shahih yang disusun pada abad ketiga dan keempat Hijriah adalah: Al-Jami’ al-Shahih karya Bukhari (256 H), Al-Jami’ al-Shahih karya Muslim (261 H), Al-Shahih karya Ibn Hazaimah (311 H), Al-Taqsim wa al-Anwa kirya Ibn Hibban (354 H), Al-Shahih karya Abu’ Awanah (316 H), Al-Muntaqa karya Ibn Jarud (307 H), Al-Mustadrak ’ala al-Shahihain karya al-Hakim al-Naisaburi (405 H).

Kitab Al-Mustadrak antara lain: Hakim (405 H), Al-Harawi. Dan kitab Al-Jami’ antara lain :Al-Jami Al-Tsauri, Al-Jami Ibn’ Uyainah, Ma’mar, Al-Thabrani (360 H).

Pada masa Rasulullah, upaya kritik hadis ini telah dilakukan, namun masih bersipat konfirmatif,[3] klarifikatif, dan mirip upaya testimoni. Baru pada masa muhaddisin, kritik hadis telah menjelma menjadi sebuah disiplin keilmuan yang melahirkan beberapa disiplin keilmuan lain, seperti ilmu Rijal al-Hadis, Thabaqat al-Ruwat, Tarikh Rijal al-Hadis, dan Jarh wa al-Ta’dil. [4]

Kritik hadis akan digunakan untuk menilik dua objek materialnya, yaitu sanad dan matan. Kritik sanad berkenaan dengan kritik terhadap para penyampai hadis, sedangkan kritik matan berhubungan dengan teks dan makna teks.

Pada masa sekarang, perkembangan kritik hadis menemukan pijakan yang kuat dengan munculnya metode ilmiah. Sehingga, kritik hadis telah menjadi proyek ilmiah yang dilakukan para akademisi dan orang yang tertarik dengan hadis. Metode ilmiah ini menjadi pemicu bagi munculnya metode-metode kritik hadis lain.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka makalah ini mencoba untuk memaparkan bagaimana melakukan penelitian terhadap sanad dan matan Hadis, yang terlebih dahulu kita memahami pengertian dan  pentingnya kritik hadis, pokok-pokok kritik sanad dan matan, serta langkah aplikasinya

 

B.     Pembahasan

1.      Pengertian Takhrij

Takhrij menurut bahasa mempunyai beberapa makna, yang paling mendekati disini adalah berasal dari kata kharaja yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya dan terpisah dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj yang artinya menampakan dan memperlihatkan dan al-makhraj artinya tempat keluar dan akhraja al hadits wa kharajahu artinya menampakan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya[5].

Pengertian takhrij menurut ahli hadits memiliki tiga macam pengertian yaitu:

1.      Usaha mencari sanad hadits yang terdapat dalam kitab hadits karya orang lain, yang tidak sama dengan sanad yang terdapat dalam kitab tersebut. Usaha ini dinamakan juga istikraj, misalnya seseorang mengambil sebuah hadits dari kitab jamiul shahih muslim kemudian ia mencari sanad hadits tersebut yang berbeda dengan sanad yang telah ditetapkan oleh imam Muslim.

2.      Suatu keterangan bahwa hadits yang dinukilkan kedalam kitab, susunannya itu terdapat dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya penyusun hadits mengakhiri penulisan haditsnya dengan kata-kata : "Akhrqjahul Bukhari" artinya bahwa hadits yang dinukil itu terdapat di kitab jami' as-shahih bukhari. Bila mengakhirinya dengan kata "akhrajahul muslim" berarti hadits tersebut terdapat dalam kitab shahih muslim.

3.      Suatu usaha mencari derajat, sanad dan rawi hadits yang tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu kitab.

Sedangkan Tatkhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.[6]

2.      Sejarah Takhrij

Penguasaan para ulama terdahulu terhadap sumber-sumber as-sunnah begitu luas sekali sehingga mereka tidak merasa sulit jika disebutkan suatu hadits untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab as-sunnah, ketika semangat belajar sudah melemah mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadits yang dijadikan sebagai rujukan para penulis dalam ilmu-ilmu syar'i.

Maka sebagian ulama bangkit dan memperlihatkan hadits-hadits yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab as-sunnah yang asli menjelaskan metodenya dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang dhaif lalu muncullah apa yang dinamakan dengan "kutub at-takhrij[7].

3.      Metodologi Takhrij

Dalam Takhrij terdapat beberapa metode yaitu:

Metode pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadits dari sahabat. Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits, lalu kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadits:

1)      Al-Masanid (musnad-musnad) dalam kitab ini di sebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap shahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab al-Masanid hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.

2)      Al-Ma'ajim (mu'jam-mu'jam) susunan hadits ini di dalamnya berdasarkan urutan musnad para shahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus (hijaiyyah). Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.

3)      Kitab-kitab Al-Alhraf kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.

Metode kedua, takhrij dengan cara mengetahui permulaan lafadz dari hadits. Cara ini dapat dibantu dengan :

1)      Kitab-kitab yang berisi tentang hadits yang dikenal oleh orang banyak, misalnya: "Ad-Durar Al-Muntatsirah fi ahaditsi Al-Musytaharah" karya As-Suyuti, "Al-Laili' al-Mantsurah fi al-Ahadits al-Masyhurrah" karya Ibnu Hajar , "Al-Maqasid al-Hasanah fi Bayaani Katsirin min al-Ahadits al-Musytahirah 'ala Alsinah" karya As-Sakhawy, "Tamyiizu at-Thayyib min al-Khabits fima Yaduru 'al Alsinati an-Naas min al-Hadils" karya Ibnu Ad Dabi' Asy-Syaibany" Kasyful Khafa' wa Muziilu al-Ilbaas 'amma Isytahara min al-Ahadits 'ala al-sinati an­nas'" karya Al- 'Ajluni.

2)      Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus, misahiya: "Al-Jami'u ash-Shagir min Ahadits al-Basyir an-Nadzir" karya As-Suyuti.

3)      Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misalnya : "Miftah ash-Shahihain" karangan Ar-Tauqadi, "Miftah at-Tartiibi li ahadits Tarikh al-Khatib ' karya Sayyid Ahmad al-Ghumari"Al-Bughiyah fi Tartibi Ahadits al-Khilyah" karya Sayyid Abdulaziz bin Af-Ghumairi, "Fihris li Tartibi Ahadits al-Khilyah karya Sayyid Abdulaziz bin al-Ghumairi, "Fihris li Tartibi Ahadits Shahih Muslim" karya Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, "Miftah Muwattha' Malik " karya Muhammad Fuad Abdui Baqi.

Metode ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunaannya oleh orang dari bagian mana saja dari matan hadits. Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mu'jam AI-Mufahras li Alfaadzi Al-Hadits An-Nabawi, berisi sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu : Kutubus Sittah, Muwartha' Imam Malik ' Musnad Ahmad dan Musnad ad-Darimi. Kitab ini di susun oleh seorang orientalis, DR. Vensink (wafat 1939 M), guru bahasa Arab di Universitas Leiden, Belanda, dan ikut dalam menyebarkan dan mengedarkannya kitab ini Muhammad Fuad Abdul Baqi.

Metode keempat, takhrij dengan cara mengetahui topik pembahasan hadits. Jika telah telah diketahui topik dan objek pembahasan hadits maka bisa dibantu dalam takhrijnya dengan karya-karya hadits yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak dibantu dengan kitab "Miflah Kunuz As-Sunnah" yang berisi daftar isi hadits yang disusun berdasarkan judul-judu! pembahasan. Disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan Belanda, DR. Arinjan Vensink juga. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadits yang terkenal, yaitu:

1) Shahih Bukhari

2) Shahih Muslim

3) Sunan Abu Daud

4) Jami' At-Tirmidzy

5) Sunan An-Nasa'i

6) Sunan Ibnu Majah

7) Muwattha Malik

8) Musnad Ahmad

9) Musnad Abu Daud Ath-Thayalisi

10) Sunan Ad-Darimi

11) Musnad Zaid bin Ali

12) Sirah ibnu Hisyarn

13) Maghazi Al-Waqidi

14)Thabaqat Ibnu Sa'ad[8]

Metode dengan menggunakan Media Elektronik dan Operasionalisasinya;  Salah satu tuntutan dalam proses pendidikan di era sekarang ini adalah harus memperhatikan prinsip efektifitas. Prinsip ini setidaknya bisa diukur dengan dua hal: efektifitas mengajar dan efektifitas belajar. Di samping itu, proses pendidikan juga harus memperhatikan prinsip efisiensi, yaitu mengusahakan agar pendidikan itu terlaksana dengan maksimal dan dengan menggunakan kebutuhan minimal. Prinsip ini setidaknya bisa diukur dari: efisiensi waktu, tenaga, peralatan, dan biaya.

Dengan telah diciptakannya teknologi Compact Disk (CD) yang berisi kitab-kitab (tafsir, hadis, fiqh) dan ilmu pengetahuan lainnya ternyata dapat menjembatani kelangkaan kitab-kitab klasik di Indonesia dan yang jelas mempermudah pencarian maraji’ (referensi) serta mempermudah kajian tema tertentu. Sekedar contoh, jika dahulu seseorang ingin meneliti kualitas sebuah hadis biasanya menghabiskan waktu tiga hari sampai satu bulan, bahkan banyak yang menganggap tidak mungkin, namun sekarang ini hal tersebut dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari lima menit dengan menggunakan perangkat teknologi software hadis.

Kecenderungan kajian Al-Qur’an, Hadis Nabi Saw, dan Fiqh secara tematik pada akhir-akhir ini juga akan sangat dimudahkan dengan keberadaan software tafsir Al-Qur’an, Hadis Nabi Saw, dan Fiqh tersebut. Para da’i dan khatib Jum’at yang harus mempersiapkan materi dakwah dan khutbahnya akan sangat terbantu dengan teknologi ini. Terlebih lagi bagi para akademisi (mahasiswa dan dosen), keberadaan teknologi ini menjadi sebuah kenicayaan tersendiri dalam mengembangkan berbagai disiplin bidang keilmuan mereka masing-masing.

Melakukan takhrij al-hadis secara konvensional (text book) adalah sangat baik dan memang harus diperkenalkan khususnya kepada para pengkaji pemula guna memperkenalkan berbagai referensi terkait dengan keilmuan hadis, namun demikian ia membutuhkan waktu yang relatif lama dan melelahkan. Untuk mempercepat proses penelusuran dan pencarian hadis, maka jasa perangkat komputer dengan program software hadis dalam Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) sangat baik untuk digunakan.

Mausu’ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah dapat digunakan. Program ini merupakan software komputer yang tersimpan dalam yang diproduksi oleh Sakhr tahun 1991 edisi 1.2.

Program ini memuat seluruh hadis yang terdapat dalam 9 kitab hadis (al-kutub al-tis’ah) yaitu: Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan ibn Majah, Musnad Ahman ibn Hanbal, Muwatta’ Malik dan Sunan al-Darimi lengkap dengan sanad dan matannya. Di samping itu, program ini juga mengandung data-data tentang biografi, daftar guru dan murid, al-jarh wa al-ta’dil, dan semua periwayat hadis yang ada di dalam al-kutub al-tis’ah. Program ini juga dapat menampilkan skema sanad, baik satu jalur maupun semua jalur periwayatannya.

Secara umum, penelitian hadis yang bisa dilakukan melalui CD program tersebut mencakup lima aspek, yaitu:
1.    Takhrij al-hadis, yaitu pelacakan hadis pada 9 kitab hadis lengkap dengan sanad dan matannya.
2.    I’tibar al-Sanad, yaitu pembeberan seluruh jalur sanad pada sebuah hadis atau berita dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana tingkat hadis tersebut ditinjau dari aspek kualitas rawinya.
3.    Naqd al-sanad, yaitu kiritik sanad atau tinjauan aspek kualitas dan persambungan (ittisal) mata rantai sanad yang dimiliki oleh suatu hadis, guna mengetahui sisi kualitas hadis dilihat dari aspek wurud al-hadis.
4.    Naqd al-matan, yaitu kritik matan atau tinjauan redaksional maupun substansial dari sebuah berita atau hadis yang telah diketahui secara pasti orisinalitas dan otentisitas hadis tersebut dalam tinjauan sanad.
5.    Natijah, yaitu kesimpulan akhir dari sebuah penelitian tentang hadis tertentu baik nilai sanad maupun nilai matannya.

Dari kelima aspek di atas, hanya tiga aspek yang bisa diakses secara lengkap dan jelas melalui program CD hadis. Semantara dua aspek yang lain membutuhkan perangkat yang lain di luar CD hadis, yaitu kekuatan analisis peneliti dalam meneliti hadis baik dari aspek “tersurat” maupun “tersirat” dari hadis yang diteliti, di samping tentunya kemampuan peneliti dalam menerapkan berbagai kaidah yang berlaku dalam penelitian hadis. Kedua aspek ini adalah naqd al-matan dan natijah. Sementara tiga aspek yang dimungkinkan penelitiannya secara capat dan lengkap melalui CD hadis adalah takhrij al-hadis, i’tibar al-sanad dan naqd al-sanad.

Untuk menelusuri dan mencari hadis dengan program ini, ada 8 cara yang bisa ditempuh, yaitu:
1.    Dengan memilih lafadz yang terdapat dalam daftar lafaz yang sesuai dengan hadis yang dicari.
2.    Dengan mengetik salah satu lafaz dalam matan hadis.
3.    Berdasarkan tema hadis.
4.    Berdasarkan kitab dan bab yang sesuai dengan kitab aslinya.
5.    Berdasarkan nomor urut hadis.
6.    Berdasarkan pada periwayat hadis.
7.    Berdasarkan aspek tertentu pada hadis.
8.    Berdasarkan takhrij hadis.

 

4.      Manfaat Takhrij Al-Hadits

Adapun manfaat dari takhrijul hadits antara lain sebagai berikut:

1. Memberikan informasi babwa suatu hadits termasuk hadits shahih, hasan ataupun dha 'if, setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya.

2. Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan, setelah tahu bahwa suatu hadits adalah hadits maqbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah mardud (tertolak) [9]


C.    Aplikasi Penelitian Sanad dan Matan

1.      Melacak Keberadaan Hadis

Untuk melacak keberadaan hadis tertentu, misalnya kita ambil contoh Hadis “Man tashabbaha” yang pertama kali ditemukan pada  kitab al-Lu’lu wa al-Marjân fî mâ Ittafaqa ‘alaihi al-Syaikhân”  karya Muhammad Fu’ad ibn ‘Abdul Bâqi ibn Shâlih ibn Muhammad dengan redaksi;

حديث سَعْدٍ رضي الله عنه، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: مَنْ تَصَبَّحَ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرُّهُ، ذَلِكَ الْيَوْمَ، سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ[10]

Hadis dari sahabat Sa’d r.a. ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW, bersabda: Barang siapa yang (makan) pada waktu pagi sebanyak tujuh butir kurma Ajwa maka tidak akan terserang racun dan sihir pada hari itu”.

Atau boleh jadi hadis yang pertama kali kita temukan tidak memiliki sanad sama sekali, seperti hadis-hadis yang ditemukan dalam buku-buku islam yang berbahasa indonesia, atau naskah-naska lainya. Bisa jadi anda mendengar dari ceramah-ceramah ustdz atau mubalig yang menyampaikan hadis tidak disertai sanadnya atau haya sebagia hadis saja yang dibacakanya.

Kita ambil conto saja hadis ini pertama kali dilihat dalam kutab “al-Lu’lu wa al-Marjân, dan berdasarkan petunjuk yang terdapat dalam kitab “al-Lu’lu wa al-Marjân fî mâ Ittafaqa ‘alaihi al-Syaikhân” diketahui bahwa Hadis tersebut dikeluarkan oleh al-Bukhari [76] dalam kitâb at-Thib: [52] Bab ad-Dawâ bil al-Ajwah li Sihr halaman 814.

2.      Melakukan I’tibar

Untuk melacak hadis tersebut ada dalam kitab apa saja, maka yang diperlukan adalah kitab-kitab kamus seperti al-Jami al-Shaghir, ath-Tharaf, al-Mu’jam al-Mufahrasy, atau boleh juga menggunakan CD Maktabah Syamilah.

a.       Kitab kamus al-Jami al-Shaghir

            Dilalah atau tautsiq Hadis tersebut pada al-mashâdir al-asliyyah. Menggunakan kamus al-Jami al-Shaghir karya al-Suyuthi (911 H), berdasarkan lafad awal "من تصبح كل يوم"   diperoleh petunjuk sebagai berikut:

من تصبح كل يوم بسبع تمرات عجوة لم يضره في ذلك اليوم سم ولا سحر (حم ق د عن سعد بن أبى وقاص) (صح)[11]

Berdasarkan petunjuk tersebut maka mashâdir  ashliyyah sesuai dengan kode tadi adalah sebagai berikut:

No

Rumus

Maksud

1

حم

Ahmad  ibn Hanbal

2

ق

Bukhari dan Muslim

3

د

Abu Daud

 

Dengan demikian Hadis tersebut  terdapat dalam kitab Jami’ al-Sahih Bukhari dan Muslim, Musnad Ahmad ibn Hanbal dan  Sunan Abu Daud, semuanya bersumber dari sahabat Sa’d  ibn Abi Waqqâs dengan kualitas sebagai Hadis shahih.

b.      Kitab kamus al-Mu’jam al-Mufahrasy 

Dilalah atau tautsiq lebih lanjut menggunakan kamus al-Mu’jam al-Mufahrasy  susunan  A.J Wensink, dengan menggunkakan lafad  عجوة , diperoleh petunjuk sebagai berikut:

من تصبح بسبع تمرات عجوة    

خ أطعمة 43 ، طبّ 52 ،56 ، م  أشربة 155 ، 154, د طب 12, حم 1, 181

Berdasarkan petunjuk tersebut maka mashâdir  ashliyyah sesuai dengan kode tadi:

No

Rumus

Baca

1

خ

Sohih Bukhari kitab ath’imah bab 42 dan kitab  thibb bab 52 dan 56

2

م

Muslim kitab asyribah  no. 154 dan 155

3

د

Abu Daud kitab Thibb bab. 12

4

حم

Musnad Ahmad ibn Hanbal juz. 1, hal. 181

 

c.       menggunakan CD Maktabah Syamilah

Cara menggunakan CD Maktabah Syamilah  dengan membuka jendela icon Maktabah syamilah sehinggga tampil gambar seperti di bawah ini:



Selanjutnya sorot icon yang berbentuk teropong (seperti pada gambar di atas), sehingga tampil gambar berikut;



Selanjutnya menuliskan potongan Hadis yang ingin dicari pada kolom atau blangko isian “al-bahts ‘an jami’ hâzihi al-‘ibârât” yang berada di samping kanan, yaitu dengan menuliskan lafadz “من تصبح

Selanjutnya sorot icon yang bergambar teropong , dan hasilnya adalah sebagai berikut;


 

3.      Menentukan Kualifikasi Hadis

a.       Berdasarkan Jumlah Rawi

Berdasakan jumlah rawi terdapat jenis Hadis mutawatir dan Hadis ahad, Hadis mutawatir yaitu Hadis yang rawinya banyak dengan syarat makhsus, tidak ada kesan dusta, jumlah rawi disetiap thabaqah minimal empat. Sedangkan Hadis ahad adalah yang tidak memenuhi syarat mutawatir, yaitu Hadis yang jumlah rawinya tida banyak. Apa bila jumlah rawinya tiga perthabaqah disebut dengan Hadis masyhur, apabila jumlahnya dua di tiap thabaqah maka Hadisnya disebut aziz, dan apabila satu orang rawi perthabaqahnya disebut Hadis gharib.

Berdasarkan kriteria tersebut di atas, maka Hadis  مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ adalah Hadis ahad masyhur, sebab Hadis tersebut diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mencapai derajat mutawati, yaitu tiga rawi  di thabaqah sahabat dan beberapa rawi di thabaqah tabi’n, sedangkan dithabaqah selanjutnya diriwayatkan oleh empat bahkan lebih. Dengam demikian Hadis tersebut adalah zhanni al-wurud  dan zhanni al-dilalah yang memerlukan penelitian lebeih lanjut.

b.      Berdasarkan Matan

Berdasarkan bentuk matan, jenis Hadis terbagi kedalam qauli, fii’li taqriri, dan hammi. Hadis qauli yaitu Hadis yang berupa perkataan; Hadis fi’ili berupa perbuatan, Hadis taqriri berupa ketetapan; dan hammi berupa rencana.

Berdasarkan idhafat matan, jenis Hadis terbagi kedalam Hadis qudsi, marfu, mauquf, dan maqthû. Hadis qudsi yaitu Hadis yang disandarkan kepada Allah tetapi bukan Al-Qur’an. Hadis marfu adalah Hadis yang di sandarkan (idhafah) kepada Nabi SAW Hadis mauquf adalah Hadis yang idhafah kepada sahabat. Dan Hadis maqthu adalah Hadis yang idhafah kepada tabi’n.

Berdasarkan kaidah tersebut maka Hadis مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ maka Hadis ini dinamakan Hadis marfu qauli hakiqi eksflisit, Dikatakan marfu karena idhafah kepada Nabi, dikatakan qauli karena matanya berbentuk perkataan serta tanda bentuk idhafahnya berbentuk eksflisit yaitu dengan menggunakan lafad :قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

c.       Berdasarkan Sanad

Dari segi bersambungnya sanad, Hadis terbagi kepada Hadis muttashil dan munfashil. Hadis muttashil adalah Hadis yang sanadnya bersambung, yakni rawi murid dan rawi guru pada sanad bertemu (liqa) karena hidup sezaman, setempat, dan seprofesi Hadis. Hadis munfashil adalah Hadis yang sanadnya terputus (inqitha’) meliputi mursal (putus rawi pertama), mu’alaq (putus mudawin dan gurunya), munqathi’ (putus satu rawi atau lebih tapi tidak berurutan), dan mu’dhal (putus dua rawi dari dua thabaqat secara beturut-turut).

Berdasarkan kaidah tersebut, maka Hadis مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ adalah Hadis muttashil sebab sanadnya bersambung, yaitu yang melalui riwayat sahabat Sa’d, Aisyah, dan Jabir. Jika memperhatikan hubungan seluruh sanad, maka dapat dikatakan bahwa Hadis bersangkutan adalah bersambung sanadnya.

Berdasarkan keadaan sanad, jenis Hadis terbagi kedalam mu’an’an (terdapat ‘an dalam sanad), muanan (terdapat lfazh anna dalam sanad), ‘ali (jumlah rawii dalam sanad sedikit, rata-rata satu atau dua perthabaqah), nazil (jumlah rawi dalam sanad banyak, rata-rata perthabaqahnya lebih dari dua), musalsal (ada persamaan sifat dalam sanad) dan mudabbaj (terdapt dua rawi dalam sanad yang saling meriwayatkan).

Berdasarkan kriteria tersebut, maka Hadis  مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ adalah Hadis mu’an’an sebab terdapat lafad ‘an dalam sanad, serta nazil sebab jumlah rawi dalam sanad perthabaqah lebih dari dua.

4.      Menentukan Kualitas Hadis (tashhih) 

a.       Tashhih

Tashhih adalah menentukan kualitas Hadis berdasarkan kaidah dirayah dengan meneliti rawi, sanad dan matan menurut criteria dalam indikatornya dengan menggunakan ilmu Hadis dan kitab pembantu.

Dengan tashhih, Hadis terbagi kedalam Hadis maqbul shahih yakni Hadis yang diterima sebagai hujjah dengan sebutan shahih apabila memenuhi syarat rawi yang adil tam, dhabit, sanad muttashil, matan marfu’, tidak ada illat dan tidak janggal. Adil dalam tabaqah dan muru’ah. Tam dhabit adalah tam dhabit shadr dan dhabit kitab yaitu qawwiy al-hafizh, qawwiy al-fahm, dan qawwiy al-dzikr. Sanad mutasil adalah rawi dalam sanad liqa karena hidup sezaman, setempat, sepropesi Hadis, matan marfu’ dam idhafah kepada Nabi SAW Tidak ada illat artinya tidak ada penambahan, pengurangan, dan penggantian lafadz. Tidak janggal artinya tidak bertentangan dengan al-Quran, Hadis mutawatir atau Hadis ahad yang lebih kuat, serta akal sehat.

Hadis maqbul hasan sama dengan Hadis shahih kecuali dalam syarat tam dhabit yang sampai kepada qalil al-dhabit.

Hadis mardud adalah Hadis yang ditolak sebagai hujjah dengan sebutan dhaif yakni yang hilang satu syarat atau lebih dari syarat shahih atau hasan, baik dari segi rawi, sanad maupun matan.

Setelah melakukan penelitian terhadap sanad dan matan Hadis, dapat disimpulkan bahwa Hadis Man tashabbaha kula yaumin sab’a tamarâtinada yang tasyadud dan ada pula yang tawasuth. Untuk Hadis yang tasyadud maka Hadisnya menjadi mardud (ditolak), penyebab ketertolakannya adalah ada salah satu rawi yang maudhu, munkar dan  matruk. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Zahir, terdapat rawi yang matruk yaitu; Qasim ibn Abdullah ibn Umar, Ishaq ibn Abdullah ibn Abdurrahman dan Shadaqah ibn Abdullah. Dengan ditemukanya kecacatan dalam rawi yang tidak bisa dimaafkan, maka Hadis ini menjadi mardud tidak dapat diamalkan (ghair mamul bih).

Untuk Hadis yang tawasuth dalam kaidah tashhih kenaikan kualitas, Hadis dhaif yang disebabkan karena adanya beberapa rawi yang majhul, dha’if (lemah), dapat menjadi hasan li ghairihi jika terdapat syahid dan mutabi yang menguatkannya. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani yang bersumber dari Anas ibn Malik ada salah satu rawi yang dinilai dha’if yaitu; Abdullah ibn Ishaq ibn Fadhil. Dengan demikian, Hadis yang asalnya dhaif naik kualtisnya menjadi hasan li ghairihi karna terdapat matan lain (syâhid) dan sanad lain (mutâbi), maka kedudukan Hadis tersebut maqbul atau mamul bih. Sedangkan sisanya diriwayatkan secara Shahih.

b.      Pengamalan Hadis

Secara keseluruhan Hadis “Man tashabbaha kula yaumin sab’a tamarâtin” terbagi kedalam dua bagian.  Pertama: Hadis yang ditolak (ghair mamul bih),  yaitu Hadis yang terdapat pada kitab Thabrani (Mujam Shaghîr) dan Zahir (al-Sabâihâh al-Alfh) adalah mardudd karena beberapa rawinya matruk. Kedua: Hadis yang maqbul (mamul bih), yaitu Hadis yang naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi yaitu Hadis riwayat  al-Thabrani dalam kitabnya Mujam al-Aûsath dan Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Musnad Hamaidi, Mushanaf Ibn  Abi Syaibah, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Sa’d ibn Abi Waqas, Bukhari, Muslim, Abi Da’ud, Bazzar, Nasai, Musnad Abu Ya’la al-Maushûli, Baihaqi  diriwayatkan secara Shahih.

                                                                       

Kesimpulan

                   Kritik hadis bagian yang tidak terpisahkan dari ilmu al-hadis. Kehadirannya sangat penting untuk membuka cakrawala pengetahuan tentang hadis yang lebih dalam, sehingga kita bisa mengamalkan kandungan hadis tanpa dihantui keraguan akan  ketidak shahihannya. Kritik hadis diarahkan pada wilayah sanad dan wilayah matan. Kritik sanad meliputi penelitan tentang kredibilitas dan intelektualitas para periwayat hadis dan cara-cara yang mereka gunakan untuk meriwayatkan hadis. Kritik matan terkait erat dengan penelusuran tentang teks dan makna teks, sehingga diketahui hadis yang bisa diterima atau ditolak.

                  Pentingnya kritik hadis sanad dan matan adalah untuk menunjukkan secara jelas, bahwa Hadits Rasul Saw perlu dijaga dari upaya-upaya yang melemahkannya dan disaring dari tercampurnya dengan Hadits Al Maudhu’i. Ini artinya, segala matan hadits yang beredar perlu diteliti siapa pembawanya, bagaimana silsilah sanadnya, dan bagaimana isi kandungan haditsnya.

Langkah-langkah kegiatan  dalam kritik sanad hadits diantaranya adalah; [1] melakukan i’tibar [2] meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya [3] jarh wa ta’dil untuk mengetahui nilai pribadi perawi [4] kitab-kitab yang diperlukan dalam kritik sanad.

Apabīla sanad dan matannya sama-sama berkualitas shahih, maka diperlukan perbandingan hadis dengan al-qur’an, perbandingan beberapa riwayat tentang suatu hadis, yaitu perbandingan antara satu riwayat dengan riwayat lainnya, perbandingan antara matan  suatu hadis dengan hadis yang lainnya, perbandingan antara matan suatu hadis dengan  berbagai kejadian yang dapat diterima akal sehat, pengamatan panca indera, atau berbagai peristiwa sejarah, kritik hadis yang tidak menyerupai kalam nabi, kritik hadis yang bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan kaidah-kaidah yang telah tetap dan baku, kritik hadis yang mengandung hal-hal yang mungkar atau mustahil.

 PPT Video Pembelajaran Takhrij Takhri;

https://youtu.be/WKYcB5gA5x8

 

Daftar Pustaka

Abbas. Hasjim,  Kritik Matan Hadis: Versi Muhaddisin dan Fuqaha, Yogyakarta: Teras. 2004;

Al-Suyuthi ,Jalâludin Abdurrahman ibn Abi Bakar,  Jami Shaghir, 1304 H;

Abdul Bâqi, Muhammad Fu’ad ibn, al-Lu’lu wa al-Marjân fî mâ Ittafaqa ‘alaihi al-Syaikhân, (Maktabah Samilah V.2.11);

RI, Departemen Agama,  Al-qur’an dan terjemahannya , Bandung: CV.Penerbit J-Art, 2005;

Isma’īl, Syuhudi,  Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, Jakarta: PT. Bulan Bintang: 1995;

Isma’īl, Syuhudi,  Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang: 1992;

Khon. Abdul Majid , Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2009)

Noorhidayati, Salamah,  Kritik Teks Hadis: Analisis tentang ar-Riwayah bi al-Ma’na dan Implikasinya bagi Kualitas Hadis.Yogyakarta : teras, 2009;

Pendidikan dan Kebudayaan, Dep, Kamus Umum Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1988;

Rahman, Fatchur, Ikhtisar mushthala’hul hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1974;

Suryadi,  Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi: Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusup al-Qaradhawi, Yogyakarta: Teras, 2008;

Sumbulah, Umi,  Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN-Malang Press, 2008;

Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001;

Yuslem, Nawir,  Metodologi Penelitian Hadis, Bandung: Cita pustaka Media Perintis, 2008;

Yuslem. Nawer,  Kitab Induk Hadis, Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006;

 



[1]Secara terminologi sanad adalah jalannya matan,yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama, lihat: Yuslem Nawir, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), Cet.ke-1, hal.148.

[2] Secara terminologi matan  berarti sesuatu yang berakhir padanya (terletak ssudah) sannad, yaitu berupa perkataan, lihat: ibid, Yuslem Nawir, Ulumul Hadis, hal. 163

[3] Pola konfirmasi sebagai cikal bakal kritik hadis pada masa Rasulullah bukanlah disebabkan oleh rasa kecurigaan mereka terhadap pembawa beritanya bahwa ia telah berdusta. Tetapi hal tersebut mereka lakukan adalah dimotivasi oleh sikap mereka yang begitu hati-hati dalam menjaga kebenaran hadis sebagai sumber hukum Islam disamping Alquran, lihat Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 183.

[4] Hasjim Abbas. Kritik Matan Hadis: Versi Muhaddisin dan Fuqaha. (Yogyakarta: Teras. 2004), Cet. Ke-1, hlm. 25

[5]. Tahkrij menutu istilah; mengumpulkan dua urusan yang berlawanan dalam masalah yang satu, dalam kamus Arab takhrij juga mengandung pengertian; خصب  (subur) dan جدب (tandus) sebagai mana perkataan; أرض مخرجة  ; tanah yang subur, adapun makna-makna dari takhri yang lain adalah; al-Istinbat, at-Tadrib, at-Taujih.  Sedangkan takhrij menurut para ulama sendiri adalah; mengeluarkan hadis terhadap seseorang dengan menyebutkan mukharijnya (yang meneluarkan hadis tersebut), Ibnu Shalah mengatakan bahwa takhrij itu adalah; mengeluarkan hadis beserta riwayatnya terhadap seseorang dari kitab aslinya. As-Shakhawi mengistilahkan tahkrij dengan; mengeluarkanya seorang muhadisin terhadap hadits-hadits dari jud, guru, kitab, atau seumpamanya, dan menyebutkan hadis itu apakan dari riwayat dirinya, atau sebagian gurunya,  atau zamanya.  Sedangkan menurut istihah sendiri takhrij adalah; petunjuk atas posisi hadis dalam sumber aslinya dengan mengeluarkanya dengan disertakan sanadnya kemudian menyebutkan kedudukanya ketika dibutuhkan. Lihat;  Mahmud Thahhan, Ushul at-Takhrij wa Risalah as-Sanid, Riyad; (Maktab al-Ma'arif 1978) hal 7-8.

 

[6]. Lihat; Abu al-Zauja, www. Ilmu Takhrij Hadits. coom.

[7]. Ibd.

[8]. Ibd.

[9]. Ibd.

[10]Muhammad Fu’ad ibn ‘Abdul Bâqi ibn Shâlih ibn Muhammad , al-Lu’lu wa al-Marjân fî mâ Ittafaqa ‘alaihi al-Syaikhân, (Maktabah Samilah V.2.11),  juz. 1, hlm 649.

[11]Jalâludin Abdurrahman ibn Abi Bakar al-Suyuthi,  Jami Shaghir, (1304 H). juz. 2, hlm. 169.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

100 Undak Usuk Basa Sunda dan Contoh Kalimatnya

Rumus Melacak Hadis dengan Miftah Kunuz al-Sunnah

Unsur Unsur Hadits (Rawi Sanad dan Matan)