TAKHRIJ HADIS TEORI DAN PRAKTIS
![]() |
Takhrij Hadis |
A.
Sejarah Singkat Pentadwinan
Hadis Nabi
Aktivitas pentadwinan Hadis oleh ulama mutaqaddimin secara resmi dan intensif berlangsung selama abad kedua dan ketiga Hijriah, yaitu aktivitas sampai terkumpulnya Hadis dalam diwan-diwan Hadis. Masa-masa tersebut adalah masa-masa pembukuan, penyaringan, pemilahan, dan pelengkapan Hadis.
Masa sesudahnya adalah masa penyempurnaan, yaitu pada masa mutaakhirin yang berlangsung sejak abad IV sampai 656 H yang dikenal sebagai masa pembersihan, penyusunan, penambahan, dan pengumpulan. Setelah tahun 656 H dan seterusnya adalah masa pensyarahan, pengumpulan, pentakhrijan dan pembahasan.
Proses riwayah dan pentadwinan yang ditekuni oleh para Muhadditsin
sampai abad kelima Hijriyah, terdiri dari kitab Musnad dan kitab Mushannaf.
Kitab Musnad adalah kitab yang disusun dengan sistem tasnid, yakni susunannya
berdasarkan rawi shahabat, ditadwin sejak akhir abad pertama, selama abad
kedua, abad ketiga, dan selanjutnya, antara lain: Al-Musnad karya Abu Hanifah (150 H),
Al-Musnad karya al-Syafi’i (204 H), Al-Musnad karya Abu Daud al-Thayalisi (201
H), Al-Musnad karya Ahmad ibn Hambal (241 H), Al-Musnad karya Zaid ibn Ali,
Al-Musnad karya Abdullah ibn Musa, Al-Musnad karya Musaddad ibn Musarhad,
Al-Musnad karya Asad ibn Musa al-Amawi, Al-Musnad karya Nu’aim ibn Hammad
al-Khuza’i, Al-Musnad karya Ishaq ibn Rahawaih, Al-Musnad karya Abu Ya’la
al-Maushûliu, Al-Musnad karya al-Humaidi, Al-Musnad karya Ali al-Madani,
Al-Musnad karya Abid ibn Humaid, Al-Musnad karya al-Bazzar, Al-Musnad karya
al-Marwazi, Al-Musnad karya Abu Bakar ibn Abi Syaibah (234 H), Al-Musnad karya
al-Baghawi (214 H), Al-Musnad karya al-Masarkhasi (298 H), Al-Musnad karya Baqi
ibn Makhlad (196 H), Al-Musnad karya Sa’id ibn Manshur (227 H), Al-Musnad karya
al-Razi, Al-Musnad karya al-Khuwarijmi.
Kitab Mushannaf adalah
kitab Hadis yang disusun dengan sistem tashnif, yakni susunannya berdasarkan
urutan (maudhu’i) bab-bab tertentu, ditadwin mulai awal abad kedua Hijriah dan
selanjutnya dengan nama Al-Muatha’, Al-Jami’, Al-Sunan, Al-Muatha’, dan
Al-Mustadrak.
Kitab
Al-Muatha susunan: Malik (179 H), Al-Madani
(185 H), al-Marwazi (292 H), dan kitab Mushannaf Al-Jami’
seperti: Al-Auza’i
(157 H), Syu’bah (160 H), Hammad
(167 H), Al-Laits (175 H), Sufyan (196 H), Abd al-Razaq (211 H), Ibnu Abi
Syaibah (235 H), Baqi’ (276H), Abu Nu’aim (430 H).
Kitab
Sunan disusun pada abad ketiga, empat dan lima
Hijriah yakni: Al-Sunan
karya Abu Daud (275 H), Al-Sunan karya al-Tirmidzi (278 H), Al-Sunan karya
al-Nasa’i (303 H), Al-Sunan karya Ibn Majah (273 H), Al-Sunan karya al-Darimi
(255 H), Al-Sunan karya al-Dailami (505 H), Al-Sunan karya al-Dâruqathni (358
H), Al-Sunan karya al-Kubra karya al-Baihaqi (458 H).
Kitab Mushannaf Shahih yang disusun pada abad ketiga dan keempat
Hijriah adalah: Al-Jami’
al-Shahih karya Bukhari (256 H), Al-Jami’ al-Shahih karya Muslim (261 H), Al-Shahih
karya Ibn Hazaimah (311 H), Al-Taqsim wa al-Anwa kirya Ibn Hibban (354 H), Al-Shahih
karya Abu’ Awanah (316 H), Al-Muntaqa karya Ibn Jarud (307 H), Al-Mustadrak
’ala al-Shahihain karya al-Hakim al-Naisaburi (405 H).
Kitab Al-Mustadrak antara lain: Hakim (405 H), Al-Harawi. Dan kitab Al-Jami’ antara lain :Al-Jami Al-Tsauri, Al-Jami Ibn’ Uyainah, Ma’mar, Al-Thabrani (360
H).
Pada masa Rasulullah, upaya
kritik hadis ini telah dilakukan, namun masih bersipat konfirmatif,[3] klarifikatif, dan mirip upaya
testimoni. Baru pada masa muhaddisin, kritik hadis telah menjelma menjadi
sebuah disiplin keilmuan yang melahirkan beberapa disiplin keilmuan lain,
seperti ilmu Rijal al-Hadis, Thabaqat al-Ruwat, Tarikh Rijal
al-Hadis, dan Jarh wa al-Ta’dil. [4]
Kritik hadis akan digunakan
untuk menilik dua objek materialnya, yaitu sanad dan matan. Kritik sanad
berkenaan dengan kritik terhadap para penyampai hadis, sedangkan kritik matan
berhubungan dengan teks dan makna teks.
Pada masa sekarang,
perkembangan kritik hadis menemukan pijakan yang kuat dengan munculnya metode
ilmiah. Sehingga, kritik hadis telah menjadi proyek ilmiah yang dilakukan para
akademisi dan orang yang tertarik dengan hadis. Metode ilmiah ini menjadi
pemicu bagi munculnya metode-metode kritik hadis lain.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka makalah ini mencoba untuk memaparkan bagaimana melakukan penelitian terhadap sanad dan matan Hadis, yang terlebih dahulu kita memahami pengertian dan pentingnya kritik hadis, pokok-pokok kritik sanad dan matan, serta langkah aplikasinya
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Takhrij
Takhrij menurut bahasa mempunyai beberapa
makna, yang paling mendekati disini adalah berasal dari kata kharaja yang
artinya nampak dari
tempatnya, atau keadaannya dan terpisah dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj yang
artinya menampakan dan memperlihatkan dan al-makhraj artinya tempat
keluar dan akhraja al hadits wa kharajahu artinya menampakan dan
memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya[5].
Pengertian takhrij menurut ahli hadits
memiliki tiga macam pengertian yaitu:
1.
Usaha mencari sanad hadits yang terdapat dalam
kitab hadits karya orang lain, yang tidak sama dengan sanad yang terdapat dalam
kitab tersebut. Usaha ini dinamakan juga istikraj, misalnya seseorang
mengambil sebuah hadits dari kitab jamiul shahih muslim kemudian ia
mencari sanad hadits tersebut yang berbeda dengan sanad yang telah ditetapkan
oleh imam Muslim.
2. Suatu keterangan bahwa hadits yang dinukilkan kedalam kitab, susunannya
itu terdapat dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya
penyusun hadits mengakhiri penulisan haditsnya dengan kata-kata : "Akhrqjahul
Bukhari" artinya bahwa hadits yang dinukil itu terdapat di kitab jami'
as-shahih bukhari. Bila mengakhirinya dengan kata "akhrajahul
muslim" berarti hadits tersebut terdapat dalam kitab shahih muslim.
3.
Suatu usaha mencari derajat, sanad dan rawi hadits yang
tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu kitab.
Sedangkan Tatkhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat
hadits pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya
dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.[6]
2.
Sejarah Takhrij
Penguasaan para ulama terdahulu terhadap
sumber-sumber as-sunnah begitu luas sekali sehingga mereka tidak merasa
sulit jika disebutkan suatu hadits untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab as-sunnah,
ketika semangat belajar sudah melemah mereka kesulitan untuk mengetahui
tempat-tempat hadits yang dijadikan sebagai rujukan para penulis dalam
ilmu-ilmu syar'i.
Maka
sebagian ulama bangkit dan memperlihatkan hadits-hadits yang ada pada sebagian
kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab as-sunnah yang asli
menjelaskan metodenya dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas
yang dhaif lalu muncullah apa yang dinamakan dengan "kutub
at-takhrij[7].
3.
Metodologi Takhrij
Dalam Takhrij terdapat beberapa metode yaitu:
Metode pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadits dari
sahabat. Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang
meriwayatkan hadits, lalu kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadits:
1) Al-Masanid (musnad-musnad) dalam kitab ini di sebutkan
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap shahabat secara tersendiri. Selama
kita sudah mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari
hadits tersebut dalam kitab al-Masanid hingga mendapatkan petunjuk dalam satu
musnad dari kumpulan musnad tersebut.
2) Al-Ma'ajim (mu'jam-mu'jam) susunan hadits ini di dalamnya
berdasarkan urutan musnad para shahabat atau syuyukh (guru-guru)
atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus (hijaiyyah). Dengan mengetahui nama sahabat dapat
memudahkan untuk merujuk haditsnya.
3) Kitab-kitab Al-Alhraf kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun
berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf
kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat
merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukan oleh kitab-kitab al-athraf tadi
untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.
Metode kedua, takhrij dengan cara mengetahui permulaan lafadz dari
hadits. Cara ini dapat dibantu dengan :
1)
Kitab-kitab yang berisi tentang hadits yang
dikenal oleh orang banyak, misalnya: "Ad-Durar Al-Muntatsirah fi
ahaditsi Al-Musytaharah" karya As-Suyuti, "Al-Laili'
al-Mantsurah fi al-Ahadits al-Masyhurrah" karya Ibnu Hajar ,
"Al-Maqasid al-Hasanah fi Bayaani Katsirin min al-Ahadits al-Musytahirah
'ala Alsinah" karya As-Sakhawy, "Tamyiizu at-Thayyib min
al-Khabits fima Yaduru 'al Alsinati an-Naas min al-Hadils" karya Ibnu
Ad Dabi' Asy-Syaibany" Kasyful Khafa' wa Muziilu al-Ilbaas 'amma Isytahara
min al-Ahadits 'ala al-sinati annas'" karya Al- 'Ajluni.
2)
Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan
urutan huruf kamus, misahiya: "Al-Jami'u ash-Shagir min Ahadits
al-Basyir an-Nadzir" karya As-Suyuti.
3)
Petunjuk-petunjuk dan indeks yang
disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misalnya : "Miftah
ash-Shahihain" karangan Ar-Tauqadi, "Miftah at-Tartiibi li
ahadits Tarikh al-Khatib ' karya Sayyid Ahmad
al-Ghumari"Al-Bughiyah fi Tartibi Ahadits al-Khilyah" karya Sayyid
Abdulaziz bin Af-Ghumairi, "Fihris li Tartibi Ahadits al-Khilyah karya
Sayyid Abdulaziz bin al-Ghumairi, "Fihris li Tartibi Ahadits Shahih
Muslim" karya Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, "Miftah Muwattha'
Malik " karya Muhammad Fuad Abdui Baqi.
Metode ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang
penggunaannya oleh orang dari bagian mana saja dari matan hadits. Metode ini dapat
dibantu dengan kitab Al-Mu'jam AI-Mufahras li Alfaadzi Al-Hadits An-Nabawi, berisi
sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu : Kutubus
Sittah, Muwartha' Imam Malik ' Musnad Ahmad dan Musnad ad-Darimi. Kitab
ini di susun oleh seorang orientalis, DR. Vensink (wafat 1939 M), guru
bahasa Arab di Universitas Leiden, Belanda, dan ikut dalam menyebarkan dan
mengedarkannya kitab ini Muhammad Fuad Abdul Baqi.
Metode keempat, takhrij dengan cara mengetahui topik pembahasan
hadits. Jika telah telah diketahui topik dan objek pembahasan
hadits maka bisa dibantu dalam takhrijnya dengan karya-karya hadits yang
disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak dibantu dengan
kitab "Miflah Kunuz As-Sunnah" yang berisi daftar isi hadits
yang disusun berdasarkan judul-judu! pembahasan. Disusun oleh seorang
orientalis berkebangsaan Belanda, DR. Arinjan Vensink juga. Kitab ini
mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadits yang terkenal, yaitu:
1) Shahih Bukhari
2) Shahih Muslim
3) Sunan Abu Daud
4) Jami' At-Tirmidzy
5) Sunan An-Nasa'i
6) Sunan Ibnu Majah
7) Muwattha Malik
8) Musnad Ahmad
9) Musnad Abu Daud Ath-Thayalisi
10) Sunan Ad-Darimi
11) Musnad Zaid bin Ali
12) Sirah ibnu Hisyarn
13) Maghazi Al-Waqidi
14)Thabaqat Ibnu Sa'ad[8]
Metode dengan menggunakan Media Elektronik dan
Operasionalisasinya; Salah satu tuntutan dalam proses pendidikan di era
sekarang ini adalah
harus memperhatikan prinsip efektifitas. Prinsip ini setidaknya
bisa diukur dengan dua hal: efektifitas mengajar dan efektifitas belajar. Di
samping itu, proses pendidikan juga harus memperhatikan prinsip efisiensi,
yaitu mengusahakan agar pendidikan itu terlaksana dengan maksimal dan dengan
menggunakan kebutuhan minimal. Prinsip ini setidaknya bisa diukur dari:
efisiensi waktu, tenaga, peralatan, dan biaya.
Dengan telah diciptakannya teknologi Compact Disk (CD) yang berisi
kitab-kitab (tafsir, hadis, fiqh) dan ilmu pengetahuan lainnya ternyata dapat
menjembatani kelangkaan kitab-kitab klasik di Indonesia dan yang jelas mempermudah
pencarian maraji’ (referensi) serta mempermudah kajian tema tertentu. Sekedar
contoh, jika dahulu seseorang ingin meneliti kualitas sebuah hadis biasanya
menghabiskan waktu tiga hari sampai satu bulan, bahkan banyak yang menganggap
tidak mungkin, namun sekarang ini hal tersebut dapat diselesaikan dalam waktu
kurang dari lima menit dengan menggunakan perangkat teknologi software hadis.
Kecenderungan kajian Al-Qur’an, Hadis Nabi Saw, dan Fiqh secara
tematik pada akhir-akhir ini juga akan sangat dimudahkan dengan keberadaan
software tafsir Al-Qur’an, Hadis Nabi Saw, dan Fiqh tersebut. Para da’i dan
khatib Jum’at yang harus mempersiapkan materi dakwah dan khutbahnya akan sangat
terbantu dengan teknologi ini. Terlebih lagi bagi para akademisi (mahasiswa dan
dosen), keberadaan teknologi ini menjadi sebuah kenicayaan tersendiri dalam
mengembangkan berbagai disiplin bidang keilmuan mereka masing-masing.
Melakukan takhrij al-hadis secara konvensional (text book) adalah
sangat baik dan memang harus diperkenalkan khususnya kepada para pengkaji
pemula guna memperkenalkan berbagai referensi terkait dengan keilmuan hadis,
namun demikian ia membutuhkan waktu yang relatif lama dan melelahkan. Untuk
mempercepat proses penelusuran dan pencarian hadis, maka jasa perangkat
komputer dengan program software hadis dalam Compact Disk Read Only Memory
(CD-ROM) sangat baik untuk digunakan.
Mausu’ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah dapat digunakan.
Program ini merupakan software komputer yang tersimpan dalam yang diproduksi
oleh Sakhr tahun 1991 edisi 1.2.
Program ini memuat seluruh hadis yang terdapat dalam 9 kitab hadis
(al-kutub al-tis’ah) yaitu: Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud,
Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan ibn Majah, Musnad Ahman ibn Hanbal,
Muwatta’ Malik dan Sunan al-Darimi lengkap dengan sanad dan matannya. Di
samping itu, program ini juga mengandung data-data tentang biografi, daftar
guru dan murid, al-jarh wa al-ta’dil, dan semua periwayat hadis yang ada di
dalam al-kutub al-tis’ah. Program ini juga dapat menampilkan skema sanad, baik
satu jalur maupun semua jalur periwayatannya.
Secara
umum, penelitian hadis yang bisa dilakukan melalui CD program tersebut mencakup
lima aspek, yaitu:
1. Takhrij al-hadis, yaitu pelacakan hadis pada 9 kitab hadis
lengkap dengan sanad dan matannya.
2. I’tibar al-Sanad, yaitu pembeberan seluruh jalur sanad
pada sebuah hadis atau berita dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana
tingkat hadis tersebut ditinjau dari aspek kualitas rawinya.
3. Naqd al-sanad, yaitu kiritik sanad atau tinjauan aspek
kualitas dan persambungan (ittisal) mata rantai sanad yang dimiliki oleh suatu
hadis, guna mengetahui sisi kualitas hadis dilihat dari aspek wurud al-hadis.
4. Naqd al-matan, yaitu kritik matan atau tinjauan
redaksional maupun substansial dari sebuah berita atau hadis yang telah
diketahui secara pasti orisinalitas dan otentisitas hadis tersebut dalam
tinjauan sanad.
5. Natijah, yaitu kesimpulan akhir dari sebuah penelitian
tentang hadis tertentu baik nilai sanad maupun nilai matannya.
Dari kelima aspek di atas, hanya tiga aspek yang bisa diakses
secara lengkap dan jelas melalui program CD hadis. Semantara dua aspek yang
lain membutuhkan perangkat yang lain di luar CD hadis, yaitu kekuatan analisis
peneliti dalam meneliti hadis baik dari aspek “tersurat” maupun “tersirat” dari
hadis yang diteliti, di samping tentunya kemampuan peneliti dalam menerapkan
berbagai kaidah yang berlaku dalam penelitian hadis. Kedua aspek ini adalah
naqd al-matan dan natijah. Sementara tiga aspek yang dimungkinkan penelitiannya
secara capat dan lengkap melalui CD hadis adalah takhrij al-hadis, i’tibar
al-sanad dan naqd al-sanad.
Untuk
menelusuri dan mencari hadis dengan program ini, ada 8 cara yang bisa ditempuh,
yaitu:
1. Dengan memilih lafadz yang terdapat dalam daftar lafaz
yang sesuai dengan hadis yang dicari.
2. Dengan mengetik salah satu lafaz dalam matan hadis.
3. Berdasarkan tema hadis.
4. Berdasarkan kitab dan bab yang sesuai dengan kitab
aslinya.
5. Berdasarkan nomor urut hadis.
6. Berdasarkan pada periwayat hadis.
7. Berdasarkan aspek tertentu pada hadis.
8. Berdasarkan takhrij hadis.
4.
Manfaat Takhrij Al-Hadits
Adapun manfaat dari takhrijul hadits antara
lain sebagai berikut:
1. Memberikan informasi babwa suatu hadits
termasuk hadits shahih, hasan ataupun dha 'if, setelah diadakan
penelitian dari segi matan maupun sanadnya.
2. Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan, setelah tahu bahwa suatu hadits adalah hadits maqbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah mardud (tertolak) [9]
C.
Aplikasi
Penelitian Sanad dan Matan
1. Melacak
Keberadaan Hadis
Untuk
melacak keberadaan hadis tertentu, misalnya kita ambil contoh Hadis “Man tashabbaha”
yang pertama kali ditemukan pada kitab “al-Lu’lu wa al-Marjân fî
mâ Ittafaqa ‘alaihi al-Syaikhân” karya Muhammad Fu’ad ibn ‘Abdul Bâqi
ibn Shâlih ibn Muhammad dengan redaksi;
حديث سَعْدٍ
رضي الله عنه، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
يَقُولُ: مَنْ تَصَبَّحَ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرُّهُ، ذَلِكَ
الْيَوْمَ، سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ[10]
Hadis dari sahabat Sa’d r.a. ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW,
bersabda: Barang siapa yang (makan) pada waktu pagi sebanyak tujuh butir kurma
Ajwa maka tidak akan terserang racun dan sihir pada hari itu”.
Atau boleh jadi hadis yang pertama kali kita temukan tidak memiliki
sanad sama sekali, seperti hadis-hadis yang ditemukan dalam buku-buku islam
yang berbahasa indonesia, atau naskah-naska lainya. Bisa jadi anda mendengar
dari ceramah-ceramah ustdz atau mubalig yang menyampaikan hadis tidak disertai
sanadnya atau haya sebagia hadis saja yang dibacakanya.
Kita ambil conto saja hadis ini pertama kali dilihat dalam kutab “al-Lu’lu
wa al-Marjân, dan berdasarkan petunjuk yang terdapat dalam kitab “al-Lu’lu
wa al-Marjân fî mâ Ittafaqa ‘alaihi al-Syaikhân” diketahui bahwa Hadis tersebut
dikeluarkan oleh al-Bukhari [76] dalam kitâb at-Thib: [52] Bab ad-Dawâ
bil al-Ajwah li Sihr halaman 814.
2.
Melakukan I’tibar
Untuk
melacak hadis tersebut ada dalam kitab apa saja, maka yang diperlukan adalah
kitab-kitab kamus seperti al-Jami al-Shaghir, ath-Tharaf, al-Mu’jam al-Mufahrasy, atau boleh juga menggunakan CD Maktabah Syamilah.
a. Kitab kamus
al-Jami al-Shaghir
Dilalah
atau tautsiq Hadis tersebut pada al-mashâdir al-asliyyah. Menggunakan
kamus al-Jami al-Shaghir karya al-Suyuthi (911 H),
berdasarkan lafad awal "من
تصبح كل يوم" diperoleh petunjuk sebagai berikut:
من تصبح كل يوم
بسبع تمرات عجوة لم يضره في ذلك اليوم سم ولا سحر (حم ق د عن سعد بن أبى وقاص) (صح)[11]
Berdasarkan petunjuk tersebut maka mashâdir ashliyyah sesuai dengan kode tadi adalah
sebagai berikut:
No |
Rumus |
Maksud |
1 |
حم |
Ahmad ibn Hanbal |
2 |
ق |
Bukhari dan Muslim |
3 |
د |
Abu Daud |
Dengan demikian Hadis tersebut terdapat dalam kitab Jami’ al-Sahih
Bukhari dan Muslim, Musnad Ahmad ibn Hanbal dan Sunan Abu Daud, semuanya bersumber
dari sahabat Sa’d ibn Abi Waqqâs dengan
kualitas sebagai Hadis shahih.
b. Kitab kamus
al-Mu’jam al-Mufahrasy
Dilalah atau tautsiq lebih lanjut menggunakan kamus al-Mu’jam
al-Mufahrasy susunan A.J Wensink, dengan menggunkakan lafad عجوة , diperoleh petunjuk sebagai berikut:
من تصبح بسبع تمرات عجوة
خ أطعمة 43 ، طبّ 52 ،56 ، م أشربة 155 ، 154, د طب 12, حم 1, 181
Berdasarkan petunjuk tersebut maka mashâdir ashliyyah sesuai dengan kode tadi:
No |
Rumus |
Baca |
1 |
|
Sohih Bukhari kitab ath’imah bab 42 dan kitab thibb bab 52 dan 56 |
2 |
|
Muslim kitab asyribah
no. 154 dan 155 |
3 |
|
Abu Daud kitab Thibb bab. 12 |
4 |
|
Musnad Ahmad ibn Hanbal juz. 1, hal. 181 |
c. menggunakan
CD Maktabah Syamilah
Cara
menggunakan CD Maktabah Syamilah dengan membuka jendela icon Maktabah syamilah sehinggga tampil
gambar seperti di bawah ini:
Selanjutnya
sorot icon yang berbentuk teropong (seperti pada gambar di atas), sehingga
tampil gambar berikut;
Selanjutnya menuliskan potongan Hadis yang ingin dicari
pada kolom atau blangko isian “al-bahts ‘an jami’ hâzihi al-‘ibârât”
yang berada di samping kanan, yaitu dengan menuliskan lafadz “من تصبح”
Selanjutnya sorot icon yang bergambar teropong , dan
hasilnya adalah sebagai berikut;
3. Menentukan
Kualifikasi Hadis
a. Berdasarkan Jumlah Rawi
Berdasakan
jumlah rawi terdapat jenis Hadis mutawatir dan Hadis ahad, Hadis mutawatir
yaitu Hadis yang rawinya banyak dengan syarat makhsus, tidak ada kesan
dusta, jumlah rawi disetiap thabaqah minimal empat. Sedangkan Hadis ahad
adalah yang tidak memenuhi syarat mutawatir, yaitu Hadis yang jumlah
rawinya tida banyak. Apa bila jumlah rawinya tiga perthabaqah disebut
dengan Hadis masyhur, apabila jumlahnya dua di tiap thabaqah maka
Hadisnya disebut aziz, dan apabila satu orang rawi perthabaqahnya
disebut Hadis gharib.
Berdasarkan kriteria tersebut di atas, maka Hadis مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ
تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ adalah
Hadis ahad masyhur, sebab Hadis tersebut
diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mencapai derajat mutawati,
yaitu tiga rawi di thabaqah sahabat
dan beberapa rawi di thabaqah tabi’n, sedangkan dithabaqah
selanjutnya diriwayatkan oleh empat bahkan lebih. Dengam demikian Hadis
tersebut adalah zhanni al-wurud
dan zhanni al-dilalah yang memerlukan penelitian lebeih lanjut.
b. Berdasarkan Matan
Berdasarkan bentuk matan, jenis Hadis terbagi kedalam qauli, fii’li
taqriri, dan hammi. Hadis qauli yaitu Hadis yang berupa
perkataan; Hadis fi’ili berupa perbuatan, Hadis taqriri berupa
ketetapan; dan hammi berupa rencana.
Berdasarkan idhafat matan, jenis Hadis terbagi kedalam Hadis qudsi,
marfu, mauquf, dan maqthû. Hadis qudsi yaitu Hadis yang
disandarkan kepada Allah tetapi bukan Al-Qur’an. Hadis marfu adalah
Hadis yang di sandarkan (idhafah) kepada Nabi SAW Hadis mauquf adalah
Hadis yang idhafah kepada sahabat. Dan Hadis maqthu adalah Hadis yang
idhafah kepada tabi’n.
Berdasarkan kaidah tersebut maka Hadis مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ
تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ maka Hadis ini dinamakan Hadis marfu qauli
hakiqi eksflisit, Dikatakan marfu karena idhafah kepada Nabi,
dikatakan qauli karena matanya berbentuk perkataan serta tanda bentuk
idhafahnya berbentuk eksflisit yaitu dengan menggunakan lafad :قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
c. Berdasarkan Sanad
Dari segi
bersambungnya sanad, Hadis terbagi kepada Hadis muttashil dan munfashil.
Hadis muttashil adalah Hadis yang sanadnya bersambung, yakni rawi murid
dan rawi guru pada sanad bertemu (liqa) karena hidup sezaman, setempat,
dan seprofesi Hadis. Hadis munfashil adalah Hadis yang sanadnya terputus
(inqitha’) meliputi mursal (putus rawi pertama), mu’alaq
(putus mudawin dan gurunya), munqathi’ (putus satu rawi atau lebih tapi
tidak berurutan), dan mu’dhal (putus dua rawi dari dua thabaqat secara
beturut-turut).
Berdasarkan
kaidah tersebut, maka Hadis مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ
تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ adalah
Hadis muttashil sebab sanadnya bersambung, yaitu yang melalui riwayat
sahabat Sa’d, Aisyah, dan Jabir. Jika memperhatikan hubungan seluruh sanad,
maka dapat dikatakan bahwa Hadis bersangkutan adalah bersambung sanadnya.
Berdasarkan
keadaan sanad, jenis Hadis terbagi kedalam mu’an’an (terdapat ‘an dalam
sanad), muanan (terdapat lfazh anna dalam sanad), ‘ali (jumlah
rawii dalam sanad sedikit, rata-rata satu atau dua perthabaqah), nazil
(jumlah rawi dalam sanad banyak, rata-rata perthabaqahnya lebih dari
dua), musalsal (ada persamaan sifat dalam sanad) dan mudabbaj (terdapt
dua rawi dalam sanad yang saling meriwayatkan).
Berdasarkan
kriteria tersebut, maka Hadis مَنْ تَصَبَّحَ
كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ
الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ adalah Hadis mu’an’an sebab terdapat lafad ‘an
dalam sanad, serta nazil sebab jumlah rawi dalam sanad perthabaqah
lebih dari dua.
4. Menentukan
Kualitas Hadis (tashhih)
a. Tashhih
Tashhih adalah menentukan kualitas Hadis berdasarkan kaidah
dirayah dengan meneliti rawi, sanad dan matan menurut criteria dalam
indikatornya dengan menggunakan ilmu Hadis dan kitab pembantu.
Dengan tashhih,
Hadis terbagi kedalam Hadis maqbul shahih yakni Hadis yang diterima
sebagai hujjah dengan sebutan shahih apabila memenuhi syarat rawi yang
adil tam, dhabit, sanad muttashil, matan marfu’, tidak ada illat
dan tidak janggal. Adil dalam tabaqah dan muru’ah. Tam dhabit
adalah tam dhabit shadr dan dhabit kitab yaitu qawwiy
al-hafizh, qawwiy al-fahm, dan qawwiy al-dzikr. Sanad mutasil adalah
rawi dalam sanad liqa karena hidup sezaman, setempat, sepropesi Hadis,
matan marfu’ dam idhafah kepada Nabi SAW Tidak ada illat
artinya tidak ada penambahan, pengurangan, dan penggantian lafadz. Tidak
janggal artinya tidak bertentangan dengan al-Quran, Hadis mutawatir atau
Hadis ahad yang lebih kuat, serta akal sehat.
Hadis maqbul
hasan sama dengan Hadis shahih kecuali dalam syarat tam dhabit yang sampai
kepada qalil al-dhabit.
Hadis mardud
adalah Hadis yang ditolak sebagai hujjah dengan sebutan dhaif
yakni yang hilang satu syarat atau lebih dari syarat shahih atau hasan, baik
dari segi rawi, sanad maupun matan.
Setelah melakukan penelitian terhadap sanad dan matan Hadis,
dapat disimpulkan bahwa Hadis “Man tashabbaha kula
yaumin sab’a tamarâtin” ada yang
tasyadud dan ada pula yang tawasuth. Untuk Hadis yang tasyadud maka Hadisnya menjadi mardud (ditolak),
penyebab ketertolakannya adalah ada salah satu rawi yang maudhu, munkar
dan matruk. Dalam Hadis yang
diriwayatkan oleh Thabrani dan Zahir, terdapat rawi yang matruk yaitu;
Qasim ibn Abdullah ibn Umar, Ishaq ibn Abdullah
ibn Abdurrahman dan Shadaqah ibn Abdullah. Dengan ditemukanya kecacatan dalam rawi yang tidak
bisa dimaafkan, maka Hadis ini menjadi mardud tidak dapat diamalkan (ghair
mamul bih).
Untuk Hadis yang tawasuth dalam kaidah tashhih kenaikan kualitas, Hadis
dhaif yang disebabkan karena adanya beberapa rawi yang majhul, dha’if
(lemah), dapat menjadi hasan li ghairihi jika terdapat syahid
dan mutabi yang menguatkannya. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh
Thabrani yang bersumber dari Anas ibn Malik ada salah
satu rawi yang dinilai dha’if yaitu; Abdullah ibn Ishaq ibn Fadhil. Dengan demikian, Hadis yang asalnya dhaif
naik kualtisnya menjadi hasan li ghairihi karna terdapat matan
lain (syâhid) dan sanad lain (mutâbi), maka kedudukan
Hadis tersebut maqbul atau mamul bih. Sedangkan sisanya diriwayatkan secara Shahih.
b.
Pengamalan Hadis
Secara keseluruhan Hadis “Man tashabbaha kula
yaumin sab’a tamarâtin” terbagi kedalam dua
bagian. Pertama: Hadis yang
ditolak (ghair mamul bih), yaitu
Hadis yang terdapat pada kitab Thabrani (Mujam Shaghîr) dan Zahir (al-Sabâihâh
al-Alfh) adalah mardudd karena beberapa rawinya matruk. Kedua:
Hadis yang maqbul (mamul bih), yaitu Hadis yang naik derajatnya menjadi hasan
li ghairihi yaitu Hadis riwayat al-Thabrani dalam kitabnya Mujam
al-Aûsath dan Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Musnad Hamaidi,
Mushanaf Ibn Abi Syaibah, Musnad Ahmad
ibn Hanbal, Musnad Sa’d ibn Abi Waqas, Bukhari, Muslim, Abi Da’ud, Bazzar, Nasai,
Musnad Abu Ya’la al-Maushûli, Baihaqi diriwayatkan secara Shahih.
Kesimpulan
Kritik hadis
bagian yang tidak terpisahkan dari ilmu al-hadis. Kehadirannya sangat
penting untuk membuka cakrawala pengetahuan tentang hadis yang lebih dalam,
sehingga kita bisa mengamalkan kandungan hadis tanpa dihantui keraguan
akan ketidak shahihannya. Kritik hadis
diarahkan pada wilayah sanad dan wilayah matan. Kritik sanad meliputi penelitan
tentang kredibilitas dan intelektualitas para periwayat hadis dan cara-cara
yang mereka gunakan untuk meriwayatkan hadis. Kritik matan terkait erat dengan
penelusuran tentang teks dan makna teks, sehingga diketahui hadis yang bisa
diterima atau ditolak.
Pentingnya kritik hadis sanad dan matan adalah
untuk menunjukkan secara jelas, bahwa Hadits Rasul Saw perlu dijaga dari
upaya-upaya yang melemahkannya dan disaring dari tercampurnya dengan Hadits Al
Maudhu’i. Ini artinya, segala matan hadits yang beredar perlu diteliti
siapa pembawanya, bagaimana silsilah sanadnya, dan bagaimana isi kandungan
haditsnya.
Langkah-langkah kegiatan dalam
kritik sanad hadits diantaranya adalah; [1] melakukan i’tibar [2] meneliti
pribadi periwayat dan metode periwayatannya [3] jarh wa ta’dil untuk mengetahui
nilai pribadi perawi [4] kitab-kitab yang diperlukan dalam kritik sanad.
Apabīla sanad dan matannya
sama-sama berkualitas shahih, maka diperlukan perbandingan hadis dengan
al-qur’an, perbandingan beberapa riwayat tentang suatu hadis, yaitu
perbandingan antara satu riwayat dengan riwayat lainnya, perbandingan antara
matan suatu hadis dengan hadis yang
lainnya, perbandingan antara matan suatu hadis dengan berbagai kejadian yang dapat diterima akal
sehat, pengamatan panca indera, atau berbagai peristiwa sejarah, kritik hadis
yang tidak menyerupai kalam nabi, kritik hadis yang bertentangan dengan
dasar-dasar syariat dan kaidah-kaidah yang telah tetap dan baku, kritik hadis
yang mengandung hal-hal yang mungkar atau mustahil.
Daftar Pustaka
Abbas. Hasjim, Kritik Matan Hadis: Versi Muhaddisin dan
Fuqaha, Yogyakarta: Teras. 2004;
Al-Suyuthi ,Jalâludin Abdurrahman ibn Abi Bakar, Jami Shaghir, 1304 H;
Abdul
Bâqi, Muhammad Fu’ad ibn, al-Lu’lu wa al-Marjân fî mâ Ittafaqa ‘alaihi
al-Syaikhân, (Maktabah Samilah V.2.11);
RI, Departemen Agama, Al-qur’an
dan terjemahannya , Bandung: CV.Penerbit J-Art, 2005;
Isma’īl, Syuhudi, Kaedah
Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, Jakarta:
PT. Bulan Bintang: 1995;
Isma’īl, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta:
Bulan Bintang: 1992;
Khon. Abdul Majid , Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2009)
Noorhidayati, Salamah, Kritik
Teks Hadis: Analisis tentang ar-Riwayah bi al-Ma’na dan Implikasinya bagi
Kualitas Hadis.Yogyakarta : teras, 2009;
Pendidikan dan Kebudayaan,
Dep, Kamus Umum Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1988;
Rahman, Fatchur, Ikhtisar
mushthala’hul hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1974;
Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi: Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusup
al-Qaradhawi, Yogyakarta: Teras, 2008;
Sumbulah, Umi, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang:
UIN-Malang Press, 2008;
Yuslem, Nawir, Ulumul
Hadis, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001;
Yuslem, Nawir, Metodologi Penelitian Hadis, Bandung:
Cita pustaka Media Perintis, 2008;
Yuslem. Nawer, Kitab Induk Hadis, Jakarta: Hijri
Pustaka Utama, 2006;
[1]Secara terminologi sanad adalah jalannya matan,yaitu silsilah para perawi
yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama, lihat:
Yuslem Nawir, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya,
2001), Cet.ke-1, hal.148.
[2] Secara terminologi matan berarti
sesuatu yang berakhir padanya (terletak ssudah) sannad, yaitu berupa perkataan,
lihat: ibid, Yuslem Nawir, Ulumul Hadis, hal. 163
[3] Pola konfirmasi sebagai cikal bakal kritik hadis pada masa Rasulullah
bukanlah disebabkan oleh rasa kecurigaan mereka terhadap pembawa beritanya
bahwa ia telah berdusta. Tetapi hal tersebut mereka lakukan adalah dimotivasi
oleh sikap mereka yang begitu hati-hati dalam menjaga kebenaran hadis sebagai
sumber hukum Islam disamping Alquran, lihat Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu
Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 183.
[4] Hasjim Abbas. Kritik Matan Hadis: Versi Muhaddisin dan Fuqaha.
(Yogyakarta: Teras. 2004), Cet. Ke-1, hlm. 25
[5].
Tahkrij menutu istilah; mengumpulkan dua urusan yang berlawanan dalam masalah
yang satu, dalam kamus Arab takhrij juga mengandung pengertian; خصب (subur) dan جدب (tandus) sebagai
mana perkataan; أرض
مخرجة ; tanah yang subur, adapun makna-makna
dari takhri yang lain adalah; al-Istinbat, at-Tadrib, at-Taujih. Sedangkan takhrij menurut para ulama sendiri
adalah; mengeluarkan hadis terhadap seseorang dengan menyebutkan mukharijnya
(yang meneluarkan hadis tersebut), Ibnu Shalah mengatakan bahwa takhrij itu
adalah; mengeluarkan hadis beserta riwayatnya terhadap seseorang dari kitab
aslinya. As-Shakhawi mengistilahkan tahkrij dengan; mengeluarkanya seorang muhadisin
terhadap hadits-hadits dari jud, guru, kitab, atau seumpamanya, dan menyebutkan
hadis itu apakan dari riwayat dirinya, atau sebagian gurunya, atau zamanya.
Sedangkan menurut istihah sendiri takhrij adalah; petunjuk atas posisi
hadis dalam sumber aslinya dengan mengeluarkanya dengan disertakan sanadnya
kemudian menyebutkan kedudukanya ketika dibutuhkan. Lihat; Mahmud Thahhan, Ushul at-Takhrij wa
Risalah as-Sanid, Riyad; (Maktab al-Ma'arif 1978) hal 7-8.
[6]. Lihat; Abu al-Zauja, www. Ilmu Takhrij Hadits. coom.
[7]. Ibd.
[8]. Ibd.
[9]. Ibd.
[10]Muhammad Fu’ad ibn
‘Abdul Bâqi ibn Shâlih ibn Muhammad , al-Lu’lu wa al-Marjân fî mâ Ittafaqa
‘alaihi al-Syaikhân, (Maktabah Samilah V.2.11), juz. 1, hlm 649.
[11]Jalâludin Abdurrahman ibn Abi Bakar
al-Suyuthi, Jami Shaghir, (1304 H). juz. 2, hlm. 169.
Komentar
Posting Komentar