SEJARAH ZAKAT
SEJARAH ZAKAT PADA MASA
KHULAFAURRASYIDIN
A. Pendahuluan
Rukun Islam yang keempat, membahas tentang
kajian zakat, zakat merupakan pembagian sebagian harta yang dimiliki untuk
mensucikan jiwa, zakat terbagi menjadi 2 bagian yaitu zakat fitrah yang dikeluarkan
oleh setiap orang muslim di bulan Ramadhan, dan Zakat Maal yang dikeluarkan
oleh orang muslim yang memiliki kelebihan harta dan berlaku syarat tertentu.
Zakat merupakan suatu kewajiban bagi umat
Islam yang digunakan untuk membantu masyarakat lain, menstabilkan ekonomi
masyarakat dari kalangan bawah hingga kalangan atas, sehingga dengan adanya
zakat umat Islam tidak ada yang tertindas karena zakat dapat menghilangkan
jarak antara si kaya dan si miskin. Oleh karena itu, zakat sebagai salah satu instrumen
negara dan juga sebuah tawaran solusi untuk menbangkitkan bangsa dari
keterpurukan. Zakat juga sebuah ibadah mahdhah yang diwajibkan bagi orang-orang
Islam, namun diperuntukan bagi kepentingan seluruh masyarakat.
Zakat merupakan suatu ibadah yang dipergunakan
untuk kemaslahatan umat sehingga dengan adanya zakat (baik zakat fitrah maupun
zakat maal) kita dapat mempererat tali silaturahmi dengan sesama umat Islam
maupun dengan umat lain.
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh
pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat.
Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan
mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari'ah mengatur
dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan
menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu
hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi
syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat,
haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah.
Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia dimana pun.
B. Pengertian Zakat
Zakat adalah salah satu rukun Islam. Zakat
secara bahasa berarti
tumbuh dan bertambah. Dan menurut syari’at berarti sedekah wajib dari sebagian
harta. Sebab dengan mengeluarkan zakat, maka pelakunya akan
tumbuh mendapat kedudukan tinggi di sisi Allah
SWT dan menjadi orang yang suci serta disucikan.[1][1] Juga bisa berarti berkah, bersih, suci,
subur, dan berkembang maju. Dapat kita ambil kesimpulan bahwa kita sebagai umat
muslim telah diwajibkan oleh Allah SWT untuk mengeluarkan zakat, seperti firman
Allah SWT:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# öNà6¯=yès9 tbqçHxqöè? ÇÎÏÈ
“Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah
zakat dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat”. (QS An-Nur 56).
Dalam buku lain juga disebutkan, salah satu
tugas ekonomi penting kaum muslimin adalah zakat. Al-Quran menyebutkan zakat
setelah menyebutkan sholat ini menunjukkan betapa pentingnya masalah zakat
karena ia merupakan tanda keimanan seseorang dan modal keselamatannya.[2][2]
Dalam ayat yang lain, Allah menjelaskan bahwa
orang yang mentaati perintah Allah khususnya dalam menunaikan zakat, niscaya
Allah akan memberikan rahmat kepada kita dan kita akan dikembalikan kepada
kesucian atau fitrah seperti bayi yang baru dilahirkan ke muka bumi ini atau
seperti kertas putih yang belum ada coretan-coretan yang dapat mengotori kertas
tersebut, seperti firman-Nya:
خُذْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ
صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu bersihkan dan sucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya dosa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS At-Taubah 103).
Zakat itu wajib dharurah dalam agama. Dan yang
mengingkarinya dianggap telah keluar dari Islam. Imam Shadiq berkata,
“Sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi para fuqara harta yang dapat
mencukupi hidup mereka di dalam harta orang-orang kaya. Jika Allah mengetahui
bahwa hal itu tidak mencukupi, tentu Allah akan menambahnya.
Mereka menjadi fuqara bukan karena tidak ada
bagian dari Allah untuk mereka, tetapi karena orang-orang kaya itu tidak mau
memberikan hak para fuqara tersebut. Seandainya setiap orang kaya
menunaikan kewajiban mereka, maka para fuqara akan hidup dengan baik”.[3][3] Adapun
orang-orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat yaitu harus baligh, berakal,
dan hartanya milik penuh.
C. Zakat
Pada Masa Pemerintahan Khulafaurrasyidin
1. Masa Khalifah Abu Bakar Ashidiq
Setelah Nabi Muhammad SAW
wafat, kepemimpinan umat Islam diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar Ashidiq. Di
masa pemerintahan Abu Bakar, zakat dilakukan dengan merujuk kepada cara-cara
pengelolaan zakat yang dilakukan Rasulullah SAW. Namun, persoalan baru muncul,
ketika ada orang atau kelompok yang enggan membayar zakat, di antaranya Musailamah Al-Kadzdzab
dari Yamamah dan Sajah
Tulaihah.[4][4]
Masalah ini berakar dari
pemahaman sebagian umat Islam bahwa perintah zakat yang tertuang dalam surat
At-Taubah ayat 103:
“Ambilah sedekah (zakat) dari harta mereka,
dari zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka,” bermakna hanya Nabi
yang berhak memungut zakat, karena beliaulah yang diperintahkan untuk memungut
pajak.
Mereka juga menilai hanya
pemungutan yang dilakukan Nabi yang dapat membersihkan dan menghapuskan dosa
mereka. Dengan demikian, zakat hanya menjadi kewajiban mereka ketika Rasullulah
masih hidup, dan ketika rasul telah wafat maka mereka terbebas dari kewajiban
berzakat tersebut.
Pandangan tersebut jelas
keliru. Menyikapi hal itu, Abu Bakar mengambil kebijakan tegas dengan memerangi
mereka. Bagi Abu Bakar mereka dianggap telah murtad. Pada awalnya, kebijakan
Abu Bakar ini ditentang oleh Umar bin Khattab. Umar bin Khattab berpegang
kepada hadis nabi yang menyatakan, “Saya diutus untuk memerangi manusia sampai
ia mengucapkan kalimat La llahaillah”.[5][5]
Bagi Umar, dengan masuk
Islam yang dibuktikan dengan mengucapkan lafaz syahadat, sudah menjamin bahwa
darah dan kekayaan seseorang berhak memperoleh perlindungan.
Akan tetapi Abu Bakat
beragumen bahwa teks hadis di atas memberi syarat terjadinya perlindungan
tersebut, yaitu, “kecuali bila terdapat
kewajiban dalam darah dan kekayaan itu.”
Zakat adalah yang harus
ditunaikan dalam kekayaan. Abu Bakar juga menganalogikan zakat dengan sholat,
karena pentasyri’an keduanya memang sejajar. Argumen tersebut akhirnya dapat
diterima oleh Umar.
Dan Abu Bakar pun beragumentasi pada Alquran, dimana negara diberikan
kekuasaan untuk memungut secara paksa zakat dari masyarakat yang akan
dipergunakan kembali sebagai dana pembangunan negara.
Ketegasan sikap Abu
Bakar, dalam hal ini betul-betul merupakan suatu sikap yang membuat sejarah
yang tidak ada tandingannya. Dia tidak dapat sama sekali menerima pemisahan
antara ibadah jasmaniah (salat) dari ibadah kekayaan (zakat) dan tidak dapat
pula menerima pengurangan sesuatu yang pernah diserahkan kepada Rasulullah,
walaupun hanya berupa seekor kambing ataupun anaknya.
Pembangkangan orang-orang
yang mengangkat dirinya menjadi nabi palsu dan sudah dirasakan bahayanya di
Madinah pun tidak terlepas dari tindakan tegasnya. Dia tidak mundur sedikitpun
dari tekadnya untuk memerangi mereka, sehingga setiap warga negara yang
melakukan pembangkangan tidak mau membayar zakat, pemerintah dapat melakukan
penyitaan terhadap aset yang dimiliki.
Demikianlah tindakan Abu
Bakar sebagai khalifah pertama terhadap orang-orang yang membangkang untuk
tidak membayar zakat. Demikian pula bagaimana sikap para sahabat utama,
termasuk mereka yang pada mulanya tidak setuju, sepakat bahwa
pembangkang-pembangkang itu harus diperangi karena keengganan mereka membayar
salah satu ibadah utama dalam Islam.
Dengan demikian, memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat
merupakan salah satu masalah konsensus (ijma’) dalam hukum Islam. Negara Islam
dalam periode Abu Bakar, pertama kali melancarkan perang untuk membela hak-hak
fakir miskin dan golongan-golongan ekonomi lemah.
Setelah dilakukan pembersihan terhadap semua pembangkang zakat, Abu Bakar
pun memulai tugasnya dengan mendistribusikan dan mendayagunakan zakat bagi
orang-orang yang berhak menerimanya, menurut cara yang dilakukan Rasullulah. Dia
sendiri mengambil harta dari Baitul Mal menurut ukuran yang wajar dan diberikan
kepada golongan yang berhak menerimanya, dan selebihnya dibelanjakan untuk
persediaan bagi angkatan bersenjata yang berjuang di jalan Allah.
Dalam soal pemberian, Abu Bakar tidak membedakan antara terdahulu dan
terkemudian masuk Islam. Sebab kesemuanya berhak memperoleh zakat apabila
kondisi kehidupannya membutuhkan serta masuk dalam kelompok Asnaf penerima
zakat yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60.
*
Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana
Abu Bakar mendirikan Baitul Mal di San’ah, tempat yang terletak di daratan
tinggi Madinah. Dia tidak mengangkat satu pun pengawal atau pegawai untuk
mengawasinya. Bila ditanya mengapa tidak mengangkat penjaga, maka Abu Bakar
menjawab. “Jangan takut, tidak ada
sedikit pun harta yang tersesisa di dalamnya, semua telah habis dibagikan.”
Ketika Abu Bakar meninggal, Umar bin Khatab memanggil sahabat
terpercaya, di antaranya Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan untuk
masuk dalam Baitul Mal. Mereka tidak mendapatkan satu dinar dan satu dirham pun
di dalamnya, kecuali satu karung harta yang tersimpan dalam Baitul Mal yang
berisi satu dirham.
2. Masa
Pemerintahan Umar bin Khottob
Pada masa Umar menjadi
Khalifah, situasi jazirah Arab relatif lebih stabil dan tentram. Semua kabilah
menyambut seruan zakat dengan sukarela. Umar melantik amil-amil untuk bertugas
mengumpulkan zakat dari orang-orang dan kemudian mendistribusikan kepada
golongan yang berhak menerimanya. Sisa zakat itu kemudian diberikan kepada
Khalifah.
Untuk mengelola wilayah
yang semakin luas dan dengan persoalan yang kian kompleks, Umar kemudian
membenahi struktur pemerintahannya dengan membentuk beberapa lembaga baru yang
bersifat akseklusif-operasional, di antara lembaga baru yang Umar bentuk adalah
Baitul Mal.
Kebijakan
yang diterapkan oleh Umar dalam lembaga baitul mâl di antaranya adalah
dengan mengklasifikasikan sumber pendapatan negara menjadi empat, yaitu:[6][6]
a. Pendapatan zakat dan `ushr. Pendapatan ini didistribusikan di
tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di baitul
mâl pusat dan dibagikan kepada delapan ashnâf, seperti yang telah
ditentukan dalam al-Qur`an.
b. Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada
fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah
ia seorang muslim atau bukan.
c.
Pendapatan kharâj, fai, jizyah,
`ushr, dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana
pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi,
kebutuhan militer, dan sebagainya.
d. Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja,
pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.
Klasifikasi sumber pendapatan negara di atas
sangat penting untuk diterapkan dalam pemerintahan Islam. Salah satu tujuannya
adalah agar suatu sumber pendapatan tidak tercampur dengan sumber pendapatan
yang lain. Seperti zakat dan pajak. Redistribusi pendapatan hasil zakat, sudah
ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu kepada 8 golongan (ashnâf)
yang berhak menerima zakat. Dan jika terdapat sisa dari hasil pengumpulan
zakat, maka khalifah dapat mengambil kebijakan untuk disesuaikan dengan
kebutuhan social. Sedangkan redistribusi pajak dapat ditentukan oleh khalifah.
Dan umumnya hasil pemungutan pajak ditujukan untuk pembangunan negara. Karena
itulah, para pejabat baitul mâl tidak mempunyai wewenang dalam membuat
suatu keputusan terhadap harta baitul mâl yang berupa zakat.
Selanjutanya
dalam mendistribusikan harta baitul mâl, Umar mendirikan beberapa
departemen yang dianggap perlu, seperti:[7][7]
a. Departemen pelayanan militer. Departemen ini berfungsi untuk
mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam
peperangan. Besarnya jumlah dana bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan
keluarga setiap penerima dana.
b. Departemen kehakiman dan ekskutif. Departemen ini bertanggung jawab
terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat ekskutif. Besarnya gaji ini
ditentukan oleh dua hal, yaitu jumlah gaji yang diterima harus mencukupi
kebutuhan keluarganya agar terhindar dari praktik suap dan jumlah gaji yang
diberikan harus sama dan kalaupun terjadi perbedaan, hal itu tetap dalam
batas-batas kewajaran.
c. Departemen pendidikan dan pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan
bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya,
seperti guru dan juru dakwah.
d. Departemen jaminan sosial. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan
dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.
Di samping mendirikan beberapa departemen
dalam pendistribusian harta baitul mâl, Umar juga menerapkan prinsip
keutamaan dalam mendistribusikannya. Ia tidak senang memberikan bagian yang
sama kepada orang-orang yang pernah berjuang menentang Rasulullah saw dengan
orang-orang yang telah berjuang membela beliau. Menurut pendapatnya bahwa
kesulitan yang dihadapi umat Islam harus diperhitungkan jika menetapkan bagian
seseorang dari kelebihan harta bangsa itu. Prinsip keadilan menghendaki bahwa usaha
seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus
dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya.[8][8]
Karena hal itu, Umar membentuk sistem dîwân,
yang menurut pendapat terkuat mulai dipraktekkan untuk pertama kalinya pada
tahun 20 H. Dalam rangka ini, ia menunjuk sebuah komite nassâb ternama
yang terdiri dari Aqil bin Abu Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin
Mut`im untuk membuat laporan sensus penduduk.
Setelah semua penduduk terdata, Umar
mengklasifikasikan beberapa golongan yang berbeda-beda dalam pendistibusian
harta baitul mâl sebagai berikut:
No. |
Penerima |
Jumlah |
1. |
Aisyah dan Abbas bin Abdul Muthallib |
@ 12.000 dirham |
2. |
Para istri Nabi selain Aisyah |
@ 10.000 dirham |
3. |
Ali, Hasan, Husain, dan para pejuang Badr |
@ 5.000 dirham |
4. |
Para pejuang Uhud dan migran ke Abysinia |
@ 4.000 dirham |
5. |
Kaum muhajirin sebelum peristiwa Fathu Mekah |
@ 3.000 dirham |
6. |
Putra-putra para pejuang Badr, orang-orang
yang memeluk Islam ketika terjadi peristiwa Fathu Mekah, anak-anak kaum
muhajirin dan anshar, para pejuang perang Qadisiyyah, Uballa, dan orang-orang
yang menghadiri perjanjian Hudaibiyyah. |
@ 2.000 dirham |
Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum muhajirin
mendapat tunjangan 800 dirham, warga Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang
tinggal di Yaman, Syria dan Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300
dirham, serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing
memperoleh 100 dirham. Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan
pensiun berupa gandum, minyak, madu, dan cuka dalam jumlah yang tetap. Kualitas
dan jenis barang berbeda-beda di setiap wilayah. Peran negara yang turut
bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian bagi setiap
warga negaranya ini merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam sejarah
dunia.[9][9]
3. Masa Khalifah Usman Bin Affan
Pengelolaan zakat pada
periode Usman bin Affan pada dasarnya melanjutkan dasar-dasar kebijakan yang
telah ditetapkan dan dikembangan oleh Umar bin Khattab.
Pada masa Usman kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan diceritakan
Usman sampai harus juga mengeluarkan zakat dari harta kharaz dan jizyah yang
diterimanya. Harta zakat pada periode Usman mencapai rekor tertinggi
dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Usman melantik Zaid bin Sabit untuk
mengelola dana zakat.
Pernah satu masa, Usman memerintahkan Zaid untuk membagi-bagikan harta
kepada yang berhak namun masih tersisa seribu dirham, lalu Usman menyuruh Zaid
untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk membangun dan memakmurkan masjid
Nabawi.
Pada periode ini ada sinyalemen bahwa perhatian khalifah pada pengelolaan
zakat tidak sepenuh seperti pada kalifah sebelumnya, dikarenakan pada periode
ini wilayah kekhalifahan Islam semakin luas dan pengelolaan zakat semakin sulit
terjangkau oleh aparat birokrasi yang terbatas.
Sementara itu, terdapat sumber pendapatan negara selain zakat yang memadai,
yakni kharaj dan jizyah. Sehingga khalifah lebih fokus dalam pengelolaan
pendapatan negara yang lain seperti kharaj dan jizyah yang besaran
persentasenya dapat diubah, berbeda dengan zakat yang besarannya harus
mengikuti tuntunan syariat.
Khalifah Utsman ibn Affan
tetap mempertahankan system pemberian bantuan dan santunan serta memeberikan
sejumlah besar uang kepada masyarakat yang berbeda-beda. Meskipun meyakini
prinsip persamaan dalam memenuhi kebutuhan pikok masyarakat, ia memberikan
bantuan yang berbeda pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, dalam
pendistribusian harta Baitul Mal, Khalifah Utsman ibn Affan menerapkan prinsip
keutamaan seperti halnya Umar ibn al-khattab.
Dalam hal pengelolaan
zakat, Khalifah utsman ibn Affan mendelegasikan kewenangan menksir harta yang
dizakati kepada para pemiliknya msiang-masing. Hal ini dilakukan untuk
mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan
yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat.
Untuk meningkatkan pengeluaran di bidang pertahanan dan kelautan,
meningkatkan dana pensiun, dan pembangunan berbagai wilayah taklukan baru,
Negara membutuhkan dana tambahan. Oleh karena itu, Khalifah Utsman ibn Affan
membuat beberapa perubahan administrasi tingkat atas dan pergantian beberapa
gubenur. Ia juga menerapkan kebijakan membagi-bagikan tanah-tanah Negara kepada
individu- individu untuk reklamasi dan kontribusi kepada Baitul Mal. Dari hasil
kebijakannya ini, Negara memperoleh pendapatan sebesar 50 juta dirham atau naik
41 juta dirham juka dibandingkan pada masa Umar ibn al-Khattab yang tidak
membagi- bagikan tanah tersebut.
Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan
Utsman Ibn Affan, tidak terdapat
perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah
Utsman ibn Affan yang banyak menguntungkan keluarganya telah menimbulkan benih
kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum muslimin. Akibatnya, pada
masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir
dengan terbunuhnya sang khalifah.[10][10]
4. Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib (35-40
H/656-661 M)
Setelah diangkat sebagai khalifah Islam IV oleh segenap kaum muslimin, Ali
ibn Abi Thalib langsung mengambil beberapa tindakan, seperti memberhentikan
para pejabat yang korupsi, membuka kembali lahan perkebunan yang telah
diberikan kepada orang-orang kesayangan Utsman dan mendistribusikan pendapatan
pajak tahunan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Umar ibn
al-Khattab.
Masa pemerintahan
Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu
diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi
pemberontakan Thalhah, Zubair ibn al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian
Utsman ibn Affan. Berbagai kebijakan tegas yang diterapkannya menimbulkan api
permusuhan dengan keluarga Bani Umayyah yang dimotori oleh Muawiyah ibn Abi
Sofyan. Pemberontakan juga datang dari
golongan Khawariij, mantan pendukung Khalifah Ali Ibn Abu Thalib yang kecewa
terhadap keputusan tahkim pada perang shiffin.
Sekalipun demikian, khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap berusaha untuk
melaksanakan berbagai kebijakan yang
mendorong peningkatan kesejahteraan umat islam. Menurut sebuah riwayat, ia
secara sukarela menarik diri dari daftar penerima dana bantuan Baitul Mal.
Selama masa pemerintahannya Khalifah Ali ibn Abi Thalib menetapkan pajak
terhadap hasil hutan dan sayuran.
Selama masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, system administrasi Baitul
Mal, baik diangkat pusat maupun daerah, telah berjalan dengan baik. Kerjasama
antara keduannya berjalan dengan lancer maka pendaptaan baitul Mal mengalami surplus. Dalam
pendistribusian harta Baitul Mal, khalifah Ali Ibn AbinThalib menerapkan
prinsip pemerataan. Ia memberikan santunan yang sama kepada setiap orang
tanpa memandang status social atau kedudukannya di dalam Islam. Khalifah Ali
ibn Abi Thalib tetap berpendapat bahwa seluruh pendapatan Negara yang disimpan
dalam Baitul Mal harus didistribusikan kepada kaum muslimin, tanpa ada
sedikitpun dana yang tersisa. Distribusi tersebut dilakukan sekali dalam
sepekan. Hari kamis merupakan hari pendistribusian atau hari pembayaraan. Pada
hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan, pada hari sabtu penghitungan
baru dimulai.[11][11]
Kebijakan Ekonomi Ali Bin Ali Thallib antara
lain :
a.
Mengedepankan
prinsip pemerataan dalam pendistribusian kekayaan negara kepada masyarakat.
b.
Menetapkan
pajak terhadap para pemilik kebun dan mengijinkan pemungutan zakat terhadap
sayuran segar
c.
Pembayaran
gaji pegawai dengan system mingguan
d.
Melakukan
kontrol pasar dan pemberantas pedagang licik, penimbunan barang , dan pasar
gelap
e.
Aturan
konpensai bagi para pekerja jika kereka merusak barang-barang pekerjaaannya.
D. Kesimpulan
1.
Baitul Mal semakin mapan bentuknya pada zaman khalifah Umar bin
Khattab. Pada masanya system administrasi dan pembentukan dewan-dewan dilakukan
untuk ketertiban administrasi. Umar juga meluaskan basis zakat san sumber
pendapatan lainnya.
2.
Kebijakan Umar diteruskan oleh Ustman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib, khalifah –khalifah berikutnya. Yang patut dicatat
dalam periode ini bahwa para khalifah itu amat serius dalam memikirkan
kesejahteraan rakyat, pendapatan dan penerimaan Baitul Mal. Fungsi Baitul
Mal sebagai instrument dalam kebijakan fiscal ini tentu hanha dapat
terlaksana dengan pribadi-pribadi yang jujur dan amanah tersebut.
3.
Zakat
pada permulaan Islam diwajibkan secara mutlak. Kewajiban zakat ini tidak
dibatasi harta yang diwajibkan untuk dizakati dan ketentuan kadar zakatnya.
Semua itu diserahkan pada kesadaran dan kemurahan kaum Muslimin. Akan tetapi,
mulai tahun kedua setelah hijrah, menurut keterangan yang masyhur ditetapkan
besar dan jumlah setiap jenis harta serta dijelaskan secara teperinci.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Afzalurrahman.
Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Al-Zuhayly,
Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzhab,
Bandung: Remaja Rosdakarya. 1995.
Aziz, Abdul. Kapita selekta Ekonomi Islam Kontemporer, Bandung:
Alfabeta Bandung, 2010.
Azra, Azyumaryadi. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Jakarta: Gramarta Publishing, 2010.
Falah
Zadeh, M. Husein. Belajar Fiqih untuk Tingkat Pemula, Cet 1; Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2008.
Karim,
Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali
Pers, September 2004, cet. Ke-1, edisi kedua.
Mughniyah,
M. Jawad. Fiqih Imam Ja’far Shadiq, Cet 5, Jakarta: Lentera, 2009.
Ra`ana
dan Irfan Mahmud. Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn Khattab, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997.
[1][1]M. Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq, Cet 5, (Jakarta: Lentera, 2009), hlm. 403.
[2][2]M. Husein Falah Zadeh, Belajar Fiqih
untuk Tingkat Pemula, Cet 1; (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.
223
[3][3]M. Jawad Mughniyah, Op.cit., hlm. 404-405.
[4][4]Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, (Bandung: Remaja Rosdakarya. 1995),
hlm. 89.
[5][5]Abdul Aziz, Kapita
selekta Ekonomi Islam Kontemporer, (Bandung: Alfabeta Bandung, 2010), hlm.
111.
[6][6]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, September 2004), cet.
Ke-1, edisi kedua, hlm. 74.
[7][7]Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam.
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid I, hlm. 169-173.
[8][8]Ibid.,
[9][9]Ra`ana dan Irfan Mahmud, Sistem Ekonomi
Pemerintahan Umar ibn Khattab, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 150.
[10][10]Azyumaryadi
Azra, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Gramarta Publishing, 2010), hlm. 95-96..
[11][11]Azyumaryadi
Azra, Op.cit., hlm. 97.
Komentar
Posting Komentar